Minggu, 22 Desember 2013

ETIKA PERGAULAN REMAJA MUSLIM

ETIKA PERGAULAN REMAJA MUSLIM
A. Pengertian Remaja
Selama ini remaja dimaknai dengan kelompok usia peralihan antara anak-anak dan dewasa. Masa pubertas biasa dianggap sebagai batas awal usia remaja dan batas akhirnya secara psikologis jika telah tercapainya tingkat kematangan (yang biasa disebut dengan dewasa) atau secara hukum berumur antara 17 – 21 tahun. Dengan demikian di usia antara 13 - 19 tahun terdapat kesenjangan antara kedewasaan biologis (pubertas, di usia sekitar 12 - 13 tahun) dengan kedewasaan psikologis dan kedewasaan sosial ( usia 20 tahun ke atas). Kesenjangan ini yang diistilahkan dengan turbulensi. Dimasa turbulensi inilah kemudian kerap muncul berbagai persoalan remaja.
Turbulensi semacam ini tidak dijumpai pada realitas remaja dalam sudut pandang Islam. Dari sisi taklif hukum, hanya ada masa anak-anak dan dewasa. Masa anak-anak (ghairu mukallaf) merupakan masa yang belum terbebani tanggungjawab (hukum syariat). Pada masa ini setiap perbuatannya belum dihisab. Namun setelah memasuki aqil baligh (yang ditandai dengan keluarnya haidh pertama/ menarce bagi wanita dan mimpi basah/ ihtilam bagi pria), maka masuklah seorang anak ke dalam gerbang dewasa/ mukallaf, dimana seorang muslim mau tidak mau pada masa ini sudah terkena taklif hukum (pembebanan hukum-hukum syariat). Setiap perbuatannya sudah dihisab oleh Allah SWT dan mestilah dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akherat kelak. Ketaatannya berbuah pahala dan keridhoan Allah SWT dan pelanggarannya berbuah dosa dan kemurkaan Allah SWT.
B. Fenomena pergaulan remaja
Islam adalah agama yang baik dan adil,sesungguhnya islam itu memberi perhatian terhadap remaja sekarang yang terus berubah. Remaja adalah penerus orang tua,agama,dan juga sebagai insan muslim yang berakhlak karimah.
Tragisnya bahwa mayoritas remaja islam sekarang ini sudah banyak yang mengikuti budaya barat yang terus berkembang.misalnya budaya yang buruk yang di ikuti remaja muslim sekarang yaitu gaya berbusana dan tingkah laku buruk yang dilakukan. Semua akibat dari pergaulan yang kurang baik yang dihasilkan dari apa yang mereka lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-harinya.merebaknya teknologi dan insformasi yang semakin berkembang memang membawa remaja menjadi lebih memahami tentang perkembang teknologi tapi juga membawa dampak negatif bagi etika remaja muslim.
Contoh-contoh menurunnya akhlak remaja yang buruk akibat seiring perubahan zaman dan masuknya budaya asing yang buruk.
a. Tawuran antar remaja
b. Kriminalitas
c. Mewabahnya penggunaan NARKOBA
d. Pergaulan bebas tanpa kendali antara putra putri
e. Berpacaran yang melampaui batas dan diikuti dengan perzinaan

C. Etika pergaulan remaja menurut islam
Islam telah mengatur tata cara pergaulan yang baik dan berakhlak karimah,karena tata cara pergaulan islam itu dilandasi dengan nilai-nilai agama.tata cara itu meliputi :
1. Mengucapkan salam
Ucapan salam yaitu ketika kita bertemu teman atau orang lain karena mengucapkan salam itu adalah doa,maka jika kita mengucapkan salam berarti kita telah mendoakan teman kita.dan menjawab salam itu hukumnya adalah wajib. Fenomena yang terjadi saat ini dikalangan remaja jarang ditemukan saling berucap salam, justru yang banyak terjadi adalah ucapan kasar dan jorok seperti misuh (Jawa) dan yang paling memprihatinkan adalah banyak gadis yang ikutan berucap misuh padahal merekalah yang akan melahirkan generasi penerus,
النساء عماد البلاد “ perempuan adalah tiang Negara”
Bila dari mulut para perempuan adalah kata-kata yang kasar dan jorok maka apa yang terjadi pada generasi yang dilahirkan mereka,sungguh tragis !
2. Menghargai hak milik teman
Kita tidak boleh meremehkan hak-hak atau milik teman kita karena itu bukan hak kita dan Dan apabila mau menggunakan barang-barang milik orang lain kita perlu meminta izin terhadap pemiliknya terlebih dahulu.
3. Menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda
Remaja sekarang seharusnya menghormati orang tua dan mengambil pengalaman dari mereka.dan kepada yang lebih muda sebaiknya remaja sekarang menuntun, mengajari kepada yang lebih muda agar beretika yang baik.
4. Bersikap santun dan tidak sombong
Dalam bergaul,agar teman merasa nyaman terhadap kita harus berperilaku yang baik dan santun.dan sikapn remaja yang dasar yaitu ingin lebih dari pada temannya padahal Allah membenci sikap sombong.
5. Tidak boleh saling menghina
Menghina dalam agama islam hukumnya dilarang. oleh karena itu, sebaiknya menghina itu harus di hindari sesama teman.
6. Pengendalian pergaulan antara laki-laki dan perempuan
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari pria dan wanita dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia (diantara kalian) di sisi Allah adalah yang paling bertakwa (dari) kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui (lagi) Maha Teliti.” (QS. Al Hujurat :13)
Manusia, termasuk di dalamnya remaja, baik pria maupun wanita, keduanya dibekali oleh Allah SWT dengan sebuah potensi hidup (thaqah hayawiyah) dan pemikiran/ akal. Potensi tersebut berupa dorongan kebutuhan jasmani (hajat ‘udhawiyyah) dan berbagai potensi naluri (gharaiz). Kebutuhan jasmani di stimulus dari dalam diri manusia/ internal, seperti rasa haus, lapar, dll. Sehingga tuntutan pemenuhannya adalah suatu keniscayaan. Jika tidak dipenuhi maka akan mendatangkan penyakit, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Namun tidak demikian halnya dengan potensi naluriah. Allah SWT menganugerahkan pada kita naluri beragama (ghorizah tadayyun), naluri untuk mempertahankan kehidupan (ghorizah baqo)dan naluri seksual untuk melestarikan keturunan (ghorizah nau), yang ketiganya di stimulus dari luar/ eksternal, berupa fakta-fakta dan pemikiran. Tuntutan pemenuhannya tidak pasti, tidak sampai menimbulkan kematian dan bisa di-manage. Fakta bahwa wanita dapat membangkitkan naluri seksual pria, tidak berarti bahwa naluri tersebut pasti muncul setiap kali seorang pria bertemu dangan wanita. Demikian pula sebaliknya. Akan tetapi, fakta itu menunjukkan bahwa pada dasarnya, keberadaan setiap pria atau wanita dapat membangkitkan naluri tersebut pada lawan jenisnya, sehingga dapat mendorong masing-masing dari keduanya untuk melakukan hubungan di luar batas-batas keridhoan Allah SWT.
Sudah menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Namun bukankah jika fitrah tersebut dibiarkan bebas lepas tanpa kendali dan tidak mematuhi batasan-batasan sebagaimana yang digariskan oleh Allah SWT, justru hanya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri? Seruan Allah SWT yang secara khusus kepada kaum laki-laki dan perempuan , bahkan mengulang-ngulang seruan (khithab) ini, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya kesadaran akan keniscayaan untuk senantiasa menetapi dan mentaati hukum Allah dalam masalah ini.
Dengan demikian, Islam melarang segala tindakan yang dapat melemahkan dan merusak akal. Sehingga tercipta suasana masyarakat Islam yang dipenuhi Taqorrub Ilallah, bukan masyarakat yang dipenuhi dengan nafsu syahwat yang melahirkan ketidak jelasan keturunandan kekacauan nilai-nilai agama. Terciptanya kehidupan yang bersih dan diliputi oleh suasana keimanan kepada Allah SWT dan pemenuhan naluri seksual hanya pada kehidupan suami istri, bukan kepada selainnya.
Alangkah indahnya kehidupan ini bila remaja generasi islam selalu hidup dalam tatanan ajaran Islam sehingga lahirlah generasi islam yang membanggakan semua orang.
ETIKA PERGAULAN REMAJA MUSLIM
A. Pengertian Remaja
Selama ini remaja dimaknai dengan kelompok usia peralihan antara anak-anak dan dewasa. Masa pubertas biasa dianggap sebagai batas awal usia remaja dan batas akhirnya secara psikologis jika telah tercapainya tingkat kematangan (yang biasa disebut dengan dewasa) atau secara hukum berumur antara 17 – 21 tahun. Dengan demikian di usia antara 13 - 19 tahun terdapat kesenjangan antara kedewasaan biologis (pubertas, di usia sekitar 12 - 13 tahun) dengan kedewasaan psikologis dan kedewasaan sosial ( usia 20 tahun ke atas). Kesenjangan ini yang diistilahkan dengan turbulensi. Dimasa turbulensi inilah kemudian kerap muncul berbagai persoalan remaja.
Turbulensi semacam ini tidak dijumpai pada realitas remaja dalam sudut pandang Islam. Dari sisi taklif hukum, hanya ada masa anak-anak dan dewasa. Masa anak-anak (ghairu mukallaf) merupakan masa yang belum terbebani tanggungjawab (hukum syariat). Pada masa ini setiap perbuatannya belum dihisab. Namun setelah memasuki aqil baligh (yang ditandai dengan keluarnya haidh pertama/ menarce bagi wanita dan mimpi basah/ ihtilam bagi pria), maka masuklah seorang anak ke dalam gerbang dewasa/ mukallaf, dimana seorang muslim mau tidak mau pada masa ini sudah terkena taklif hukum (pembebanan hukum-hukum syariat). Setiap perbuatannya sudah dihisab oleh Allah SWT dan mestilah dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akherat kelak. Ketaatannya berbuah pahala dan keridhoan Allah SWT dan pelanggarannya berbuah dosa dan kemurkaan Allah SWT.
B. Fenomena pergaulan remaja
Islam adalah agama yang baik dan adil,sesungguhnya islam itu memberi perhatian terhadap remaja sekarang yang terus berubah. Remaja adalah penerus orang tua,agama,dan juga sebagai insan muslim yang berakhlak karimah.
Tragisnya bahwa mayoritas remaja islam sekarang ini sudah banyak yang mengikuti budaya barat yang terus berkembang.misalnya budaya yang buruk yang di ikuti remaja muslim sekarang yaitu gaya berbusana dan tingkah laku buruk yang dilakukan. Semua akibat dari pergaulan yang kurang baik yang dihasilkan dari apa yang mereka lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-harinya.merebaknya teknologi dan insformasi yang semakin berkembang memang membawa remaja menjadi lebih memahami tentang perkembang teknologi tapi juga membawa dampak negatif bagi etika remaja muslim.
Contoh-contoh menurunnya akhlak remaja yang buruk akibat seiring perubahan zaman dan masuknya budaya asing yang buruk.
a. Tawuran antar remaja
b. Kriminalitas
c. Mewabahnya penggunaan NARKOBA
d. Pergaulan bebas tanpa kendali antara putra putri
e. Berpacaran yang melampaui batas dan diikuti dengan perzinaan

C. Etika pergaulan remaja menurut islam
Islam telah mengatur tata cara pergaulan yang baik dan berakhlak karimah,karena tata cara pergaulan islam itu dilandasi dengan nilai-nilai agama.tata cara itu meliputi :
1. Mengucapkan salam
Ucapan salam yaitu ketika kita bertemu teman atau orang lain karena mengucapkan salam itu adalah doa,maka jika kita mengucapkan salam berarti kita telah mendoakan teman kita.dan menjawab salam itu hukumnya adalah wajib. Fenomena yang terjadi saat ini dikalangan remaja jarang ditemukan saling berucap salam, justru yang banyak terjadi adalah ucapan kasar dan jorok seperti misuh (Jawa) dan yang paling memprihatinkan adalah banyak gadis yang ikutan berucap misuh padahal merekalah yang akan melahirkan generasi penerus,
النساء عماد البلاد “ perempuan adalah tiang Negara”
Bila dari mulut para perempuan adalah kata-kata yang kasar dan jorok maka apa yang terjadi pada generasi yang dilahirkan mereka,sungguh tragis !
2. Menghargai hak milik teman
Kita tidak boleh meremehkan hak-hak atau milik teman kita karena itu bukan hak kita dan Dan apabila mau menggunakan barang-barang milik orang lain kita perlu meminta izin terhadap pemiliknya terlebih dahulu.
3. Menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda
Remaja sekarang seharusnya menghormati orang tua dan mengambil pengalaman dari mereka.dan kepada yang lebih muda sebaiknya remaja sekarang menuntun, mengajari kepada yang lebih muda agar beretika yang baik.
4. Bersikap santun dan tidak sombong
Dalam bergaul,agar teman merasa nyaman terhadap kita harus berperilaku yang baik dan santun.dan sikapn remaja yang dasar yaitu ingin lebih dari pada temannya padahal Allah membenci sikap sombong.
5. Tidak boleh saling menghina
Menghina dalam agama islam hukumnya dilarang. oleh karena itu, sebaiknya menghina itu harus di hindari sesama teman.
6. Pengendalian pergaulan antara laki-laki dan perempuan
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari pria dan wanita dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia (diantara kalian) di sisi Allah adalah yang paling bertakwa (dari) kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui (lagi) Maha Teliti.” (QS. Al Hujurat :13)
Manusia, termasuk di dalamnya remaja, baik pria maupun wanita, keduanya dibekali oleh Allah SWT dengan sebuah potensi hidup (thaqah hayawiyah) dan pemikiran/ akal. Potensi tersebut berupa dorongan kebutuhan jasmani (hajat ‘udhawiyyah) dan berbagai potensi naluri (gharaiz). Kebutuhan jasmani di stimulus dari dalam diri manusia/ internal, seperti rasa haus, lapar, dll. Sehingga tuntutan pemenuhannya adalah suatu keniscayaan. Jika tidak dipenuhi maka akan mendatangkan penyakit, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Namun tidak demikian halnya dengan potensi naluriah. Allah SWT menganugerahkan pada kita naluri beragama (ghorizah tadayyun), naluri untuk mempertahankan kehidupan (ghorizah baqo)dan naluri seksual untuk melestarikan keturunan (ghorizah nau), yang ketiganya di stimulus dari luar/ eksternal, berupa fakta-fakta dan pemikiran. Tuntutan pemenuhannya tidak pasti, tidak sampai menimbulkan kematian dan bisa di-manage. Fakta bahwa wanita dapat membangkitkan naluri seksual pria, tidak berarti bahwa naluri tersebut pasti muncul setiap kali seorang pria bertemu dangan wanita. Demikian pula sebaliknya. Akan tetapi, fakta itu menunjukkan bahwa pada dasarnya, keberadaan setiap pria atau wanita dapat membangkitkan naluri tersebut pada lawan jenisnya, sehingga dapat mendorong masing-masing dari keduanya untuk melakukan hubungan di luar batas-batas keridhoan Allah SWT.
Sudah menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Namun bukankah jika fitrah tersebut dibiarkan bebas lepas tanpa kendali dan tidak mematuhi batasan-batasan sebagaimana yang digariskan oleh Allah SWT, justru hanya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri? Seruan Allah SWT yang secara khusus kepada kaum laki-laki dan perempuan , bahkan mengulang-ngulang seruan (khithab) ini, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya kesadaran akan keniscayaan untuk senantiasa menetapi dan mentaati hukum Allah dalam masalah ini.
Dengan demikian, Islam melarang segala tindakan yang dapat melemahkan dan merusak akal. Sehingga tercipta suasana masyarakat Islam yang dipenuhi Taqorrub Ilallah, bukan masyarakat yang dipenuhi dengan nafsu syahwat yang melahirkan ketidak jelasan keturunandan kekacauan nilai-nilai agama. Terciptanya kehidupan yang bersih dan diliputi oleh suasana keimanan kepada Allah SWT dan pemenuhan naluri seksual hanya pada kehidupan suami istri, bukan kepada selainnya.
Alangkah indahnya kehidupan ini bila remaja generasi islam selalu hidup dalam tatanan ajaran Islam sehingga lahirlah generasi islam yang membanggakan semua orang.
ADAB DAN FUNGSI BERPAKAIAN

Di dalam Islam ada garis panduan tersendiri mengenai adab berpakaian (untuk lelaki dan wanita) yaitu
1. Menutup aurat
Aurot laki-laki menurut ahli hukum ialah daripada pusat hingga ke lutut. Aurat wanita pula ialah seluruh anggota badannya, kecuali wajah, tapak tangan dan tapak kakinya.
2. Tidak menampakkan tubuh
Pakaian yang jarang sehingga menampakkan aurat tidak memenuhi syarat menutup aurat. Pakaian jarang bukan saja memperlihatkaan warna kulit, malah bisa merangsang nafsu orang yang melihatnya. Rasulullah SAW bersabda: "Dua golongan ahli neraka yang belum pernah aku lihat ialah, satu golongan memegang cemeti seperti ekor lembu yang digunakan bagi memukul manusia dan satu golongan lagi wanita yang memakai pakaian tetapi telanjang dan meliuk-liukkan badan juga kepalanya seperti punuk unta yang tunduk.Mereka tidak masuk syurga dan tidak dapat mencium baunya walaupun bau syurga itu dapat dicium daripada jarak yang jauh." (Muslim)
3. Pakaian tidak ketat supaya tidak kelihatan bentuk tubuh
4. Tidak menimbulkan riak
Rasulullah SAW bersabda bermaksud: "Sesiapa yang memakai pakaian yang berlebih-lebihan, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan pada hari akhirat nanti." (Ahmad, Abu Daud, an-Nasa'iy dan Ibnu Majah)
5. Pakaian laki-laki dan perempuan harus berbeda
Pakaian yang khusus untuk lelaki tidak boleh dipakai oleh wanita, begitu juga sebaliknya. Rasulullah SAW mengingatkan hal ini dengan tegas menerusi sabdanya yang bermaksud: "Allah mengutuk wanita yang meniru pakaian dan sikap lelaki, dan lelaki yang meniru pakaian dan sikap perempuan." (Bukhari dan Muslim) Beliau juga bersabda : "Allah melaknat laki-laki berpakaian wanita dan wanita berpakaian laki-laki" ?(Abu Daud dan Al-Hakim).

FUNGSI PAKAIAN
Pakaian adalah identitas dan simbol keberadaan seseorang, sehingga dalam Islam pakaian diatur sedemikian rupa. Pakaian mempunyai fungsi dan pengaruh yang sangat banyak bagi pemakainya, diantara fungsi pakaian adalah :

1. Menutup Aurot
Alloh berfirman :
يَابَنِى اَدَمَ قَدْاَنْزَلْنَاعَلَيْكُمْ لِبَاسًايُوَارِىسَوْاَتِكُمْ وَرِيْشًاوَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ( 7 الاعراف : 26 ).

Allah berfirman:"Wahai Manusia sungguh Kami turunkan kepada kamu pakaian yang dapat menutup aurat kamu serta sebagai perhiasan dan pakaian taqwa itulah yang baik(Al-A'raf:26)
2. Sebagai Perhiasan
Kecuali untuk menutup ‘aurat, pakaian berfungsi untuk perhiasan tubuh kita. Hal ini akan terwujud apabila kita pandai-pandai mengatur cara berpakaian sehingga tampak rapi dan anggun. Itulah maksud kalimat “Warisya” (dan pakaian indah untuk perhiasan). Nabi tidak suka berpakaian tidak teratur melainkan beliau suka berpakaian yang teratur dan rapi. Nabi bersabda :
3. Sebagai penunjuk identitas
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذيْنَ
"yang demikian itu lebih mudah mereka(muslimah)dikenali dan mereka tidak diganggu.."(al-Ahzab:59)
Dalam hal ini,kita dituntut kreatif dan inovatif dalam penampilan agar wujud perbedaan antara orang Islam dan bukan Islam. Identitas/kepribadian sesuatu adalah yang menggambarkan eksistensinya sekaligus membedakannya dari yang lain. Eksistensi atau keberadaan seseorang ada yang bersifat material dan ada juga yang imaterial (ruhani). Hal-hal yang bersifat material antara lain tergambar dalam pakaian yang dikenakannya. Anda dapat mengetahui sekaligus membedakan murid SD dan SMP, dengan melihat apa yang dipakainya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa pakaian antara lain berfungsi menunjukkan identitas serta membedakan seseorang dari lainnya. Bahkan tidak jarang ia membedakan status sosial seseorang. Rasul Saw. amat menekankan pentingnya penampilan identitas Muslim, antara lain melalui pakaian.
Seorang gadis muslimah yang berpakaian terbuka aurotnya maka sebenarnya dia telah menunjukkan bahwa dirinya bukanlah gadis muslimah baik-baik.
4. Perlindungan diri
وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمْ بَأْسَكُمْ
"..dan Dia(ALLAH) telah jadikan bagi kamu pakaian itu sebagai pelindung diri kamu daripada(cuaca) panas..(an-Nahl:81)
5. Pakaian sebagai Pemandu prilaku
Suatu Penelitihan yang dilakukan oleh Universitas Northwestern di Illionis, Amerika Serikat. Hasil studi menyatakan ada keterkaitan antara pakaian yang dikenakan dengan tingkah laku seseorang. Wanita yang memakai setelan baju kerja, akan berperilaku sesuai dengan penampilannya, lebih serius terhadap pekerjaan, dan bertanggung jawab.
Adam Galinsky, peneliti, menguji melalui percobaan kepada para relawan. Saat para relawan diminta mengenakan baju pekerja medis, seperti perawat atau dokter, ternyata mereka berperilaku lebih hati-hati.
Dari kedua penelitihan di atas dapat dipastikan bahwa siswa yang memakai pakaian seragam sekolah dengan tidak rajin seperti baju anak laki laki tidak dimasukkan tidak berdasi dan kusut maka ia akan terbawa untuk tidak perhatian kepada pelajaran sekolah. Anak perempuan yang memakai baju seragam sekolah yang dimodifikasi ketat dan seksi dapat dipastikan pikirannya hanya kepada mencari perhatian kepada lawan jenis sedang otak mereka kosong dari ilmu yang harus diserap di sekolah.
Dengan demikian, pakaian merupakan sarana yang efektif dalam mengondisikan seseorang untuk berada dalam suatu perilaku, baik atau buruk. Pakaian yang baik dapat mengondisikan orang untuk berlaku baik. Pakaian yang buruk pun dapat mengondisikan orang untuk berperilaku buruk. Dalam bahasa psikologinya, pakaian yang dipakai akan menentukan konsep diri seseorang dan juga persepsi orang lain terhadap orang tersebut. Konsep diri adalah semua yang kita pikirkan dan kita rasakan tentang diri kita. Konsep diri ini, disadari atau tidak, pada akhirnya akan memengaruhi sikap dan perilaku manusia secara keseluruhan.
METODE BELAJAR

Menurut Ngalim Purwanto (1990:85) bahwa “belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, dimana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang baik tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk”. Sedangkan menurut Morgan dalam buku Educational in Psicologi (1978) mengatakan bahwa “belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman”.
A. Macam-Macam Cara Belajar Efisien
Menurut Michael Grinder menyebutkan terdapat beberapa cara belajar yang paling efektif antara lain sebagai berikut:
1. Visual
gaya belajar visual merupakan gaya belajar dengan cara melihat. Ada beberapa ciri-ciri orang-orang bergaya visual :
 Mementingkan penampilan, baik dalam hal penampilan maupun presentasi.
 Mengingat apa yang dilihat, bukan yang didengar.
 Mengingat dengan asosiasi visual.
 Lebih suka membaca daripada dibacakan.
2. Auditorial
Gaya belajar auditorial merupakan gaya belajar dengan cara mendengar. Ciri-ciri orang bergaya auditorial adalah :
 Berbicara kepada diri sendiri saat bekerja.
 Mudah terganggu oleh keributan.
 Menggerakkan bibir ketika membaca.
 Senang membaca keras dan mendengarkan.
 Suka berbicara, berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar.
3. Kinestetik
Gaya belajar kinestetik adalah gaya belajar belajar dengan gaya bergerak, bekerja, dan menyentuh (praktek langsung). Ciri-ciri orang yang bergaya kinestetik adalah :
 Berbicara dengan perlahan.
 Menanggapi perhatian fisik.
 Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka.
 Berdiri dekat ketika berbicara dengan orang.
 Selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak.
 Menghafal dengan cara berjalan atau melihat.
 Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca.
 Tidak dapat duduk dalam waktu lama.

B. Belajar di rumah
Untuk lebih memantapkan pelajaran yang telah diproleh di sekolah maka masih sangat perlu untuk mempelajari kembali di rumah. Menurut Nana Sudjana ada beberapa petunjuk yang dapat anda gunakan untuk belajar di rumah antara lain sebagai berikut:
1. Buka dan pelajari kembali catatan singkat hasil pelajaran di sekolah yang anda catat pada kertas lepas. Baca pula buku paket yang berkenaan dengan materi tersebut.
2. Buat rumusan pertanyaan-pertanyaan yang mencakup pertanyaan ingatan dan pertanyaan pikiran.
3. Setiap pertanyaan yang telah dibuat, tulis pula pokok-pokok jawabannya
4. Melatih pertanyaan tersebut sampai menguasainya.
5. Bila jawaban masih diragukan kebenarannya bisa ditanyakan kepada guru
6. Untuk pelajaran Matematika dan fisika maka harus banyak latihan mengerjakan soal
7. Aturlah waktu belajar dengan baik
8. Jangan memforsir belajar terus-menerus dalam waktu yang cukup lama.
9. Sebelum anda tidur bacalah pertanyaan yang anda buat dan jawab dalam hati anda.
10. Banyak-banyaklaah berdoa Kepada Alloh



C. Teknik menghafal pelajaran dengan cepat
1. Memory Sport
Perlu kita ketahui bahwa otak manusia sama halnya dengan otot. Apabila otot tidak diolahragakan, maka otot akan lemah, tetapi sebaliknya bila diolahragakan akan kuat. Begitu juga dengan otak. Otak akan lemah bila tidak diolahragakan, dan akan kuat bila diolahragakan. Maka itu kita perlu mengolahragakan otak kita. Salah satu cara utk mengolahragakan otak kita adalah melalui memory sport.
Langkah - langkah memory sport;
1. Menyiapkan tempat dengan menggunakan site sistem
2. Menyiapkan kata - kata yang akan diingat
3. Menyimpan kata - kata tersebut pada tempat yg tlh ditetapkan
4. Memanggil kata - kata yang telah disimpan berdasarkan langkah ke-3
Alokasi waktu untuk mengingat adalah 2 menit. Bila anda sudah bisa mengingat 25 kata dalam waktu 2 menit, maka konsentrasi anda telah meningkat. lakukanlah memory sport ini setiap hari, maka anda akan mendapatkan manfaat yang luar biasa

2. Site Sistem
Adalah suatu teknik menyimpan informasi secara teratur dengan cara menempatkan informasi yang akan kita ingat (hafal) pada tempat - tempat yang telah ditetapkancara membuat site sistem;
1. Tempat harus yang sudah dikenal oleh kita
2. Tempat harus dapat dilihat dengan jelas
3. Tempat dibagi menjadi beberapa area
4. Tempat harus bisa dibayangkan

3. Relation Sistem
Adalah suatu teknik untuk mengingat informasi dengan cara menghubungkan informasi yang satu dengan informasi yang lainnya dengan aksi. Relation sistem dipakai untuk menghapal yang berpasangan seperti vocabulary, nama negara dan ibu kotanya, nama sungai dan provinsinya.

4. Story Sistem
Adalah teknik utk mengingat informasi dg cara menghubungkan informasi yang satu dengan informasi yang lainnya menjadi sebuah cerita Contoh;
Burung - baju - awan - coca cola - gunung - kelinci - pistol - buaya - pohon - sawah
Cara menghapal;
Bayangkan!
Burung memakai baju terbang ke awan minum coca cola terbang lagi ke gunung ketemu kelinci yang membawa pistol untuk menembak buaya yang tidur di bawah pohon di dekat sawah

D. Otak Manusia
Pada saat lahir seorang bayi memiliki 1.000.000.000.000 sel otak (neuron). Rata-rata manusia menggunakan 3% kapasitas otaknya dan orang jenius menggunakan 4%.
Pada waktu kecil dalam otak kita terjadi suatu ledakan. Saat itu setiap sel otak (neuron) yang jumlahnya berjuta-juta mengeluarkan sejumlah serat yang sangat halus dan kecil ke segala arah, mencari dan membuat sambungan dengan ribuan sampai puluhan ribu sel otak lainnya. Ini yang dinamakan interkoneksi. Proses ini kemudian berlanjut seterusnya seumur hidup. Pada saat lahir jumlah sel otak kita tidak akan bertambah lagi. Yang akan bertambah adalah jumlah interkoneksi.
Dari beberapa buku literatur dapat disimpulkan bahwa kecerdasan otak manusia dapat ditingkatkan dengan cara:
1. Makan multivitamin
2. mengkonsumsi minyak ikan yang mengandung OMEGA 3
3. kusumsi gula dan karbohidrat secukupnya
4. Batasi Kalori dan turunkan berat badan,
5. Hindari stress, dan giatlah berolah raga
6. Memperbanyak membaca Alqur’an
7. Berwudlu dan siwak
8. Sholat dan puasa
9. Tidak memperbanyak dosa
10. Tidak memenuhi hati dengan dengan hal-hal yang mengalahkan kerja otak seperti berpacaran

ahlussunnah wal jamaah annahdliyah

AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

A. PENDAHULUAN
Satu islam banyak pemahaman dan pandangan, demikianlah kenyataan sejarah perjalanan islam yang pada gilirannya perbedaan pemahaman dan pandangan itu bermuara dan terakumulasi dalam mazhab-mazhab dan sekte-sekte baik menyangkut masalah Iman, Islam maupun Ihsan yang tercermin ke dalam disiplin Aqidah, Syariah juga Tasawwuf.
Islam sebagai Syariat Allah yang abadi dimana substansi keagamaannya terdiri dari tiga hal pokok yang sering dikenal dengan Trilogi Islam yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Kebenaran (keshahihan) substansi keagamaan ini sebenarnya bias diukur dengan ukuran baku dari sumbernya, yakni Al Quran dan As-Sunnah. Manakala nafsu manusia tidak ikut intervensi dalam klaim-klaim kebenaran dengan menganggap pendapatnya benar sendiri, karena pada hakekatnya kebenaran itu hanyalah dari Allah bahkan hanyalah Allah sendiri.
Oleh karena itu, perlu memahami konsep pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai landasan pikir, pola perilaku, ucap dan sikap sehari-hari dalam hidup dan kehidupan baik pribadi maupun social.

B. PENGERTIAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Ahlussunnah Wal Jama’ah merupakan rangkaian tiga kata yaitu: (1). Ahlun; (2). Sunnatun; (3). Jamaa’atun. Adapun pengertian lebih lanjutnya sebagaimana berikut:
1. Kata “Ahlun” dalam penggunaan sehari-hari mempunyai persamaan kata (synonym) dengan Shaahibun yang artinya pemilik; sahabat akrab.
2. Kata “Sunnatun” ditinjau dari penggunaan istilah dalam islam mencakup:
• Wahyu Allah yang bukan Al-Quran atau segala yang datang dari Rasulullah selain Al-Quran.
• Jika dikaitkan dengan kata “Allah” menjadi Sunnatullah, berarti aturan Allah terhadap alam raya.
• Sesuatu yang diperintahkan oleh islam selain yang wajib.
3. Kata “Jama’ah” yang berlaku organizing kalangan kaum muslimin dari zaman ke zaman mencakup
empat hal utama yaitu:
• Dari sisi pendekatan (manhaji) ialah umat islam yang mengikuti sunnah Rasulullah dan para sahabatnya.
• Dari sisi bilangan (jumlah) ialah golongan yang lebih besar dari ummat islam dengan memegang teguh kelurusan dan kebenaran.
• Dari sisi keluasan dan kedalaman faham (tsiqqah) ialah kuatnya hujjah (argumentasi), keimanan dan keagamaan serta kepatuhannya.
• Dari sisi dasar (asas) ialah mereka yang memegang teguh kepada kebenaran (ah-haq).
Dari uraian pengertian dan penggunaan sebagaimana tersebut diatas, kiranya dapat dirumuskan bahwa: Ahlussunnah Wal Jama’ah ialah golongan islam yang mempertahankan dengan teguh faham aqidah, amalan syariah, dan sikap bathin (tashawwuf)nya mengikuti sunnah Rasulullah dan mengikuti amalan jama’ah Sahabat serta amalan Ulama Salafus Shalih.

C. ASAL-USUL PENGGUNAAN ISTILAH ASWAJA
Penggunaan istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah bila ditinjau dari sejarahnya (dan dari pengertian diatas), menurut sebagian ahli sejarah keislaman seperti pernyataan Syeikh Muhammad Rasyid yang terungkap dalam Kitab Minhajus Sunnatin Nabawiyah (Juz 2 : Shohifah 487) sebagai berikut:

وَمَذهَبُ أهْلِ السُّــنُّةِ مَذهَبٌ قـَدِيْمٌ مَعْرُوْفٌ قـَبْلَ أنْ خـَلـَـقَ اللهُ أبَاحَنِيْفـَة َ وَماَلِكاً وَالشـًّافِعِىّ وَأحْمَدَ فَإ ِنًّهُ مَـــــــذ ْهَبُ الصَّـحَابَةِ الـَّذِيْنَ تـَلـَقـَّوْنَهُ عَـنْ نَبـِيِّهـِمْ وَمَنْ خـَالـَفَ ذالِكَ كـَانَ مُبْتـَدِعـًا عِنْدَ أهْلِ السـُّـنَّةِ وَالجَمـَاعَةِ. (منهاج السنة النبوية)
Artinya: “Dan madzhab ahlussunnah wal jama’ah merupakan madzhab lama yang sudah dikenal sebelum Allah menciptakan Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii dan Imam Ahmad. Karena sesungguhnya ia merupakan madzhab sahabat dimana mereka menerima dari nabi mereka, dan barangsiapa menyalahinya maka mereka merupakan orang yang melakukan bid’ah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah”.
Namun istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini belum begitu masyhur di kalangan umat islam. Baru kemudian setelah memuncaknya fitnah organizing dunia Islam, terutama di masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun (198-218 H) bani Abbasiyah yang menjadi pendukung dan pejuang setia faham Mu’tazilah. Dengan tampilnya dua Ushuluddin sebagai reaksi terhadap maraknya faham Mu’tazilah atas dukungan Al-Makmun tersebut. Mereka adalah Abul Hasan Al-Asy’ari Al-Bashry (260-324 H) dan Abu Mashur Al-Maturidy, wafat organizing Samarkand (333 H).
Kepada kedua beliau inilah kepeloporan golongan Aswaja dinisbatkan yang kemudian berkembang sebagai madzhab islam yang terbesar dan sangat dominant organizing dunia islam. Sedangkan madzhab-madzhab lain banyak hilang ditelan masa selain madzhab Syi’ah yang memang resmi sebagai madzhab di negeri Persia dan sebagian kecil di Irak, Yordan, Syiria juga di Pakistan.

D. PEMAKAIAN ISTILAH ASWAJA DARI MASA KE MASA

1. Masa Salafus Shaalih (سلف الصالح)
Pada masa Salafus-Shaalih istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah itu digunakan untuk menyebutkan golongan islam yang mendahulukan petunjuk Al-Qur’an dan mengikuti Sunnah Rasul (إتباع الرسول) dari pada petunjuk yang lain, sekaligus memeliharanya dengan cara jama’ah.
2. Masa Khalfus Shaalih (خلف الصالح)
Pada masa Ulama’ Khalaf (ulama islam baru) istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah digunakan untuk menyebut golongan islam yang selalu memegang teguh As-sunnah dan bergabung dengan Jama’ah Ulama-Ulama yang berusaha mengikis faham-faham Bid’ah di bawah sinar para pimpinan tokoh pembaharuan (تجديد) yang berusaha menghidupkan kembali nilai-nilai yang telah pudar dari amalan-amalan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.

E. ASWAJA AN-NAHDLIYAH
ASWAJA mencakup banyak golongan Islam; yaitu golongan yang mengutamakan dan mendahulukan Sunnah Rasulullah إتباع أعمال الصحابة و أعمال التابعين dari pada pemikiran dan amalan lainnya. Atau dengan kata lain “Mendahulukan Wahyu daripada Ra’yu”.
Sedangkan Nahdlatul Ulama adalah golongan Islam yang juga mendahahulu kan wahyu dari pada ra’yu, menempatkan akal fikiran sebagai pembantu dalam memahami wahyu. Namun sebagai organisasi social keagamaan tentu mempunyai karakteristik tertentu. Dimana karakteristik itu disebabkan oleh sejarah, lokasi, atat dan budaya. Sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyah itu secara ringkas dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Substansi Keagamaan
• Bidang Aqidah didasarkan pada Aqidah Aswaja menurut Al-Asy’ari dan Al-Maturidy
• Bidang Syari’ah Amaliyah mengikuti salah satu madzhab empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabalah)
• Bidang Tashawwuf (spiritual) berpegang teguh dengan garis-garis As-Sunnah dengan tokoh panutannya Abul Qosim Muhammad Al-Junaid wafat di Baghdad (297 H) dan Abu Furqah. (disarikan dari pendapat Ibnu Abbas , Said bin Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazaly: 450-505 H/ 1058-1111 M)
2. Substansi Kemasyarakatan

a. Mabadi’ Khaira Ummah (مبادئ خير الأمـة)
Dalam kiprah kemasyarakatan harus mampu mengembangkan citra diri/ karakter sebagai berikut:
1). الصدق Berkepribadian Jujur dan Tangguh
2). الأمانة Memegang Penuh Amanah dan Bertanggungjawab
3). العدالة Mempunyai Rasa Keadilan
4). التعاون Berjiwa Tolong Menolong
5). الإستقامة Memiliki Integritas Tinggi
b. Maslahatul Ummah (مصلحة الأمّـة)

Dalam upaya berkhidmah untuk kemaslahatan ummat, bisa mengabdikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki demi kesejahteraan masyarakat dalam bidang:
1. Ekonomi; yaitu mengembangkan masyarakat secara terus menerus untuk menuju ke arah peningkatan taraf hidup masyarakat dengan prinsip ekonomi yang halal serta meningkatkan kemampuan masyarakat sesuai dengan potensinya.
2. Pendidikan; masyarakat yang maju ditandai dengan kualitas pendidikannya. Maka peningkatan pendidikan generasi muda baik melalui jenjang pendidikan formal maupun jenis pendidikan lainnya. Tegasnya pendidikan yang berorientasi pada output Kecerdasan Perilaku menuju generasi muda yang mampu Berperilaku Cerdas.

3. Substansi Kebangsaan
Masyarakat islam di Indonesia adalah bagian yang tidak terpisah dari elemen bangsa Indonesia. Atas pemahaman dan pengkajian yang mendalam bahkan comprehensive maka pilihan kenegaraan dan kebangsaan yang diambil adalah “Darus Salam” (دار السلام) bukan “Darul Islam” (دار الإسلام), yaitu Negara bermasyarakat islam, bukan Negara islam. Sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila merupakan bentuk final bagi bangsa Indonesia.

4. Sikap
Sebagai generasi yang tergabung dalam الجمعية الإجتماعية الدينية)) dengan tugas dan tanggungjawab di’ayah (da’wah) dalam peranannya dilandasi dengan sikap:

• التوسط Moderat; menghindari sikap ekstrim dan radikal.
• التسامح Toleran dalam menghadapi perbedaan pendapat/ faham maupun beda agama.
• التوزن Harmoni; memelihara keseimbangan dalam menghadapi hidup dan kehidupan baik individu maupun social, lahir maupun batin lebih-lebih dunia maupun akhirat.

Dalam rangka mempertahankan eksistensinya agar tetap mampu bertahan dan berkembang seirama dengan perkembangan zaman, maka semboyan yang harus dipegang adalah:

المُحـَا فـَظـَـة ُ عـَلىَ القـَدِيْمِ الصـََّالِح وَالأخْذ ُ بـِالجَديْدِ الأصْلاَح

Artinya: Memelihara budaya lama yang masih sesuai (baik), dan mengambil budaya baru yang lebih sesuai (baik).


EMPON NGGE SA’ MENTEN MAWON PON CEKAP ENGKEN MBLIUR

Senin, 24 Juni 2013

posisi kepala jenazah ketika disholati

Posisi Kepala Jenazah Ketika Dishalati

A. Hadits-hadits yang berkaitan dengan posisi kepala jenazah ketika disholati

 Jika mayitnya adalah seorang wanita, maka imam berdiri di sisi tengah mayit.
Samurah bin Jundub radliyallahu anhu berkata:

صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِي نِفَاسِهَا فَقَامَ عَلَيْهَا وَسَطَهَا
“Aku melakukan shalat di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam atas mayit wanita yang mati karena nifasnya. Maka beliau berdiri padanya di sisi tengahnya.”
(HR. al-Bukhari: 1245, Muslim: 1602, an-Nasa’i: 390, at-Tirmidzi: 956, Abu Dawud: 2780 dan Ibnu Majah: 2780).
 Dan jika si mayit adalah orang laki-laki, maka imam berdiri di sisi kepalanya.
Abu Ghalib al-Khayyath berkata:

شَهِدْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى عَلَى جِنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَلَمَّا رُفِعَ أُتِيَ بِجِنَازَةِ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ أَوْ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقِيلَ لَهُ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَذِهِ جِنَازَةُ فُلَانَةَ ابْنَةِ فُلَانٍ فَصَلِّ عَلَيْهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا فَقَامَ وَسَطَهَا وَفِينَا الْعَلَاءُ بْنُ زِيَادٍ الْعَدَوِيُّ فَلَمَّا رَأَى اخْتِلَافَ قِيَامِهِ عَلَى الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ قَالَ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ مِنْ الرَّجُلِ حَيْثُ قُمْتَ وَمِنْ الْمَرْأَةِ حَيْثُ قُمْتَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا الْعَلَاءُ فَقَالَ احْفَظُوا
“Aku menyaksikan Anas bin Malik menshalati atas jenazah seorang laki-laki, maka beliau berdiri di sisi kepalanya. Ketika jenazah tersebut diangkat, maka didatangkan lagi kepada beliau jenazah seorang wanita Quraisy atau Anshar. Maka dikatakan kepada beliau: “Wahai Abu Hamzah! Ini adalah jenazah Fulanah bintu Fulan, mohon engkau menshalati atasnya!” Maka beliau pun menshalatinya dan berdiri di sisi tengahnya. Di sisi kami ada Ala’ bin Ziyad al-Adawi. Ketika ia (Ala’) melihat perbedaan posisi berdirinya Anas bin Malik atas jenazah laki-laki dan wanita, maka ia bertanya: “Wahai Abu Hamzah! Apakah seperti ini posisi berdiri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terhadap jenazah laki-laki seperti posisi berdirimu dan juga posisi berdiri beliau terhadap jenazah wanita seperti posisi berdirimu?” Anas menjawab: “Benar.” Maka Ala’ menoleh kepada kita dan berkata: “Hafalkanlah !”
(HR. Ahmad: 12640, at-Tirmidzi: 955, Abu Dawud: 2779 dan Ibnu Majah: 1483. )
.
Pada hadits di atas tidak dijelaskan apakah posisi kepala jenazah berada di sisi kanan imam (sisi utara imam menurut orang Indonesia) ataukah di sisi kiri imam (sisi selatan imam menurut orang Indonesia). Dari sinilah muncul perbedaan pandangan para ulama. Dan akan kami paparkan permasalahan tersebut dalam pembahasan berikut ini

B. Ulama-ulama yang berpendapat tentang posisi kepala jenazah laki-laki berada di sisi kanan imam (sisi utara imam menurut orang Indonesia)
1. Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah, ulama Madinah masa kini.
Beliau ditanya:
السؤال: هل ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه جعل رأس الميت في صلاة الجنازة عن يسار الإمام، ورأس المرأة عن يمينه؟ الجواب: كلهم يكونون عن يمينه، مثل وضعهم في القبر، ومثله لو صلى عليهم وهم في القبر، فإن الميت يكون في القبر مستقبل القبلة، وما نعرف شيئاً يدل على خلاف ذلك.
Pertanyaan: “Apakah terdapat keterangan yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau menjadikan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam dan kepala mayit wanita di sebelah kanan imam?” Jawab: “Semua kepala mayit diletakkan di sebelah kanan imam seperti ketika diletakkan di kuburan. Demikian pula ketika menshalati mereka ketika mereka sudah dikubur. Maka si mayit di kuburannya menghadap kiblat dan kami tidak mengetahui keterangan yang menyelisihi ini.” (Syarh Sunan Abi Dawud: 17/159).

2. Al-Allamah Ibnu Abidin rahimahullah, ulama bermadzab Hanafi yang wafat tahun 1252 H.

(قَوْلُهُ وَصَحَّتْ لَوْ وَضَعُوا إلَخْ) كَذَا فِي الْبَدَائِعِ ، وَفَسَّرَهُ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ مَعْزِيًّا لِلتَّتَارْخَانِيَّةِ بِأَنْ وَضَعُوا رَأْسَهُ مِمَّا يَلِي يَسَارَ الْإِمَامِ ا هـ فَأَفَادَ أَنَّ السُّنَّةَ وَضْعُ رَأْسِهِ مِمَّا يَلِي يَمِينَ الْإِمَامِ كَمَا هُوَ الْمَعْرُوفُ الْآنَ ، وَلِهَذَا عَلَّلَ فِي الْبَدَائِعِ لِلْإِسَاءَةِ بِقَوْلِهِ لِتَغْيِيرِهِمْ السُّنَّةَ الْمُتَوَارَثَةَ
“(Ucapan pemilik matan “Dan shalat jenazahnya tetap sah jika mereka meletakkan…dst”): maksudnya (sebagaimana dalam al-Bada’i (Bada’ius Shana’i karya Al-Kasani, pen), dan ditafsirkan dalam Syarh Al-Maniyyah)… adalah meletakkan kepala mayit di sisi kiri imam. Selesai. Maka keterangan ini memberikan faedah bahwa as-Sunnah di dalam meletakkan kepala mayit adalah di sisi kanan imam sebagaimana yang dikenal sekarang. Oleh karena itu penulis al-Bada’i memberi alasan jeleknya (meletakkan kepala mayit di sisi kiri imam, pen) dengan ucapannya “karena mereka telah mengubah as-Sunnah yang turun temurun.” (Raddul Mukhtar alad Durril Mukhtar: 6/282).

3. Al-Allamah Muhammad bin Yusuf al-Abdari rahimahullah, ulama bermadzhab Maliki yang wafat tahun 897 H.
(رَأْسُ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِهِ) ابْنُ عَرَفَةَ : يَجْعَلُ رَأْسَ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِ الْإِمَامِ فَلَوْ عَكَسَ فَقَالَ سَحْنُونَ وَابْنُ الْقَاسِمِ: صَلَاتُهُمْ مُجْزِئَةٌ عَنْهُمْ . ابْنُ رُشْدٍ : فَالْأَمْرُ فِي ذَلِكَ وَاسِعٌ .
“(Kepala mayit di sebelah kanan imam). Ibnu Arafah menyatakan bahwa kepala mayit diletakkan di sisi kanan imam, seandainya terbalik (kepala di posisi kiri, pen), maka menurut Sahnun dan Ibnul Qasim, maka shalat mereka telah mencukupi (tidak usah diulang). Ibnu Rusyd (penulis Bidayatul Mujtahid) berkata: “Perkara ini luas (boleh di kanan atau di kiri imam).” (At-Taj wal Iklil Syarh Mukhtashar Khalil: 2/352).
4. al-Allamah ad-Dasuqi rahimahullah, ulama bermadzhab Maliki yang wafat tahun 1230 H. Beliau berkata:
وَ( قَوْلُهُ رَأْسُ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِهِ ) جُمْلَةٌ حَالِيَّةٌ مِنْ إمَامٍ وَ ( قَوْلُهُ إلَّا فِي الرَّوْضَةِ الشَّرِيفَةِ ) أَيْ فَإِنَّهُ يَجْعَلُ رَأْسَ الْمَيِّتِ عَلَى يَسَارِ الْإِمَامِ جِهَةَ الْقَبْرِ الشَّرِيفِ
“Dan ucapan matan (Kepala mayit di sebelah kanan imam) adalah jumlah yang menjadi hal dari imam. Dan ucapan matan (kecuali (jika mayit dishalatkan, pen) di Raudlah yang mulia), maksudnya adalah bahwa kepala mayit diletakkan di kiri imam pada arah kuburan ar-Rasul yang mulia.” (Hasyiyah ad-Dasuqi alasy Syarhil Kabir: 4/149).

5. Menurut arti implisit dari kitab Al- majmu', dan praktek yg dilakukan para ulama' salaf, adalah di kanan imam (kepala di utara). lihat Al Majmu’ 5/225
6. al-Allamah Abdullah bin al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah, ulama Nejd terdahulu. Beliau berkata:
وأما صفة موضعهم بين يدي الإمام للصلاة عليهم، فتجعل رؤوسهم كلهم عن يمين الإمام، وتجعل وسط المرأة حذا صدر الرجل، ليقف الإمام من كل نوع موقفه، لأن السنة أن يقف عند صدر الرجل ووسط المرأة.
“Adapun sifat letak kumpulan jenazah di depan imam untuk dishalati atas mereka, maka kepala mereka semua diletakkan di sisi kanan imam. Dan sisi tengah mayit wanita diluruskan dengan sisi dada mayit laki-laki agar imam dapat berdiri pada posisi yang tepat sesuai dengan macam mayit. Karena menurut as-Sunnah adalah berdiri di sisi dada mayit laki-laki dan sisi tengah mayit wanita.” (Ad-Durarus Sunniyyah fil Kutubin Najdiyyah: 5/83).

C. Ulama-ulama yang berpendapat tentang posisi kepala jenazah laki-laki berada di sisi kiri imam (sisi selatan imam menurut orang Indonesia)
1. al-Allamah Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairami rahimahullah, ulama bermadzab Syafii yang wafat tahun 1221 H.

وَيُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافًا لِمَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ أَمَّا الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى فَيَقِفُ الْإِمَامُ عِنْدَ عَجِيزَتِهِمَا وَيَكُونُ رَأْسُهُمَا لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى عَادَةِ النَّاسِ الْآنَ
“Dan kepala mayit laki-laki diletakkan di sisi kiri imam dan sebagian besar tubuhnya di sisi kanannya, dengan menyelisihi apa yang dilakukan manusia sekarang. Adapaun mayit wanita dan banci, maka imam berdiri pada sisi pantatnya dan kepalanya di sisi kanannya, sesuai dengan kebiasaan manusia sekarang.” (Hasyiyah al-Bujairami alal Minhaj: 4/500).

2. al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah, ulama bermadzab Syafii yang wafat tahun 974 H.

وَفِي هَامِشِ الْمُغْنِي لِصَاحِبِهِ وَالْأَوْلَى كَمَا قَالَ السَّمْهُودِيُّ فِي حَوَاشِي الرَّوْضَةِ جَعْلُ رَأْسِ الذَّكَرِ عَنْ يَسَارِ الْإِمَامِ لِيَكُونَ مُعْظَمُهُ عَلَى يَمِينِ الْإِمَامِ ا هـ

“Dan di dalam catatan kaki Al-Mughni (Mughnil Muhtaj karya asy-Syarbini, pen) (terdapat keterangan) bahwa yang lebih utama sebagaimana pendapat as-Samhudi dalam Hasyiyah Ar-Raudlah (Raudlatut Thalibin karya an-Nawawi, pen) adalah menjadikan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam agar sebagian besar tubuhnya berada di sisi kanan imam. Selesai.” (Tuhfatul Muhtaj Syarh Minhajith Thalibin: 11/186).

3. Hasyiyah al-Bujairomi alaa al-Manhaj juz I/hal. 484

قوله : ويقف غير مأموم إلخ ) ويوضع رأس الذكر لجهة يسار الإمام ويكون غالبه لجهة يمينه خلافا لما عليه عمل الناس الآن أما الأنثى والخنثى فيقف الإمام عند عجيزتهما ويكون رأسهما لجهة يمينه على عادة الناس الآن ع ش ، والحاصل أنه يجعل معظم الميت عن يمين المصلي ، فحينئذ يكون رأس الذكر جهة يسار المصلي ، والأنثى بالعكس إذا لم تكن عند القبر الشريف أما إن كانت هناك ، فالأفضل جعل رأسها على اليسار كرأس الذكر ليكون رأسها جهة القبر الشريف سلوكا للأدب كما قاله بعض المحققين .

Menurut keterangan dalam ‘ibaroh diatas “Sebaiknya bila mayat lelaki, bagian kepala diletakkan diarah kirinya orang yang shalat (sebelah selatan untuk konteks Indonesia) sedang bila mayat wanita, bagian kepala diletakkan diarah kanannya orang yang shalat (sebelah utara untuk konteks Indonesia).

4. Fath al-‘Alaam III/172

ويقف ندبا غير مأموم من إمام ومنفرد عند رأس ذكر وعجز غيره من أنثى وخنثى. ويوضع رأس الذكر لجهة يسار الإمام، ويكون غالبه لجهة يمينه، خلافا لما عليه عمل الناس الآن. أما الأنثى والخنثى فيقف الإمام عند عجيزتيهما ويكون رأسهما لجهة يمينه على عادة الناس الآن؛ كذا في الشبرا ملسي والبجيرمي والجمل وغيرهما من حواشي المصريين.
“Bagi Imam sholat dan orang yang sholat sendirian, disunnahkan memposisikan diri -ketika sholat janazah- di dekat kepala mayit laki-laki dan di dekat bokong mayit perempuan dan banci. Kepala mayit laki-laki diletakkan pada posisi arah kiri imam -sedangkan yang mentradisi ada pada arah kanan imam-, hal ini berbeda dengan yang biasa dilakukan masyarakat saat ini. Adapun mayit perempuan dan banci, maka imam memposisikan dirinya di dekat bokong janazah, sedangkan kepala janazah diletakkan pada posisi arah kanan sebagaimana biasa dilakukan saat ini.”

5. Kitab Al-Bujairimi ala al-Khatib, Juz 6, hlm. 97:

قَوْلُهُ : (عِنْدَ رَأْسِ ذَكَرٍ إلَخْ) عِبَارَةُ ع ش : وَتُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافَ مَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ، أَمَّا الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى فَيَقِفُ الْإِمَامُ عِنْدَ عَجِيزَتِهِمَا وَيَكُونُ رَأْسَهُمَا لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى مَا عَلَيْهِ النَّاسُ الْآنَ ا هـ .

“Ketika shalat, kepala mayit laki-laki diletakkan di sebeah kiri imam sehingga mayoritas badan mayit berada di sebelah kanan imam. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan masyarakat sekarang. Adapun mayit perempuan atau banci, imam berdiri di hadapan pantatnya dengan kepala mayit berada di sebelah kanan imam seperti yang dipraktekan oleh masyarakat sekarang.”

6. Referensi lain :
 Tarsyikhul Mustafidin : 141-142
 Faidlul ilah : 1/220
 Fathul 'Allam : 3/172
 As-Syarwani : 3/156
 Al-Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah : 1/816
 Bujarimi Khathib : 2/536
 Bughyatul Mustarsyidin : 94
 Hasyiyah Qulyubi : 1/236-237


D. Ulama-ulama yang berpendapat tentang posisi kepala jenazah laki-laki boleh berada di sisi kiri imam (sisi selatan imam menurut orang Indonesia) atau sisi kanan imam (sisi utara imam menurut orang Indonesia)

1. al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah, ulama besar Saudi Arabia, Beliau berkata:
تنبيه: لا يشترط أن يكون رأس الميت عن يمين الإمام، فيجوز أن يكون عن يسار الإمام ويمينه. خلافاً لما يعتقد بعض العامة من أنه لا بد أن يكون عن يمينه.
“Peringatan: Tidak dipersyaratkan meletakkan kepala mayit di sisi kanan imam. Sehingga boleh meletakkannya di sisi kiri imam dan juga sisi kanannya. Berbeda dengan apa yang diyakini oleh sebagian orang awam yang mengharuskan meletakkan kepala mayit di sisi kanan imam.” (asy-Syarhul Mumti’: 5/317).

فإن كان ذكرا قام الإمام عند رأسه وإن كانت أنثى قام عند وسطها ولا فرق أن يكون الرأس عن يسار الإمام أو عن يمين الإمام لأنه لم يرد في ذلك سنة معينة ولو أن ذاهب ذهب إلى أن يكون الرأس عن يسار الإمام لتكون جملة الميت عن يمين الإمام لكان له وجه لكننا لا نعلم في هذا سنة فالمسألة سهلة وما ظنه بعض الإمام من أن الميت يكون رأسه عن يمين الإمام فهذا لا أصل له اجعله عن يمينك أو عن يسارك المهم أن الرجل تقف عن رأسه والمرأة عند وسطها
“Jika mayitnya adalah laki-laki, maka imam berdiri di sisi kepalanya. Jika mayitnya wanita, maka imam berdiri di sisi tengahnya. Dan tidak ada bedanya antara posisi kepala mayit di sisi kiri imam atau sisi kanan imam, karena tidak terdapat sunnah tertentu yang menjelaskannya. Dan seandainya seseorang berpendapat bahwa kepala mayit berada di sisi kiri imam agar sebagian besar tubuh mayit berada di sisi kanan imam, maka pendapat tersebut memiliki wajah (sebagaimana pendapat Syafiiyah, pen). Akan tetapi kami tidak mendapati sunnah dalam perkara ini (yang sesuai sunnah di kiri ataukah di kanan, pen). Dan apa yang disangkakan oleh sebagian imam bahwa kepala mayit harus di sebelah kanan imam, maka persangkaan ini tidak ada asalnya. Silakan kamu letakkan kepala mayit di sisi kanan atau sisi kirimu. Yang penting, jika mayit laki-laki, maka kamu berdiri di sisi kepalanya dan jika wanita, maka kamu berdiri di sisi tengahnya.” (asy-Syarhul Mukhtashar ala Bulughil Maram lil Utsaimin: 4/47).

2. al-Allamah Ibnu Utsaimin

هل وضع رأس الميت عن يمين الإمام مشروع عند الصلاة عليه؟ فأجاب فضيلته بقوله: لا أعلم بهذا سنة، ولذلك ينبغي للإمام الذي يصلي على الجنازة أن يجعل رأس الجنازة عن يساره أحياناً حتى يتبين للناس أنه ليس واجباً أن يكون الرأس عن اليمين، لأن الناس يعتقدون أنه لابد أن يكون رأس الجنازة عن يمين الإمام، وهذا لا أصل له
“Apakah meletakkan kepala mayit di sisi kanan imam itu disyariatkan ketika menshalatinya?
Maka beliau menjawab: “Aku tidak mengetahui sunnah dalam perkara ini (meletakkan kepala di sisi kanan, pen). Oleh karena itu hendaknya imam yang akan menshalati jenazah meletakkan kepala jenazah di sebelah kirinya sekali tempo, agar manusia menjadi jelas bahwa meletakkan kepala di sisi kanan tidaklah wajib, karena manusia berkeyakinan bahwa kepala jenazah harus diletakkan di sisi kanan imam. Dan ini tidak ada asalnya.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni Utsaimin: 17/60).

3. As Syekh Abdullah Basudan Al Hadlramy yang diikuti As Syekh Isma’il ‘Utsman Az Zayn Al Yamany -dengan argumentasi sholat Rosulullah terhadap janazah (laki-laki dan perempuan) yang sudah dikuburkan- lebih cenderung berpendapat tidak membedakan posisi kepala janazah ketika disholati yaitu pada arah kanan imam/munfarid (arah utara untuk konteks Indonesia), baik janazah laki-laki maupun janazah perempuan atau banci.

قال الشيخ عبد الله باسودان الحضرمي : لكنه مجرد بحث. وأخذ من كلام المجموع وفعل السلف من علماء وصلحاء في جهتنا حضرموت وغيرها جعل رأس الذكر في الصلاة عن اليمين أيضا. والمعول عليه هو النص إن وجد من مرجح لا على سبيل البحث والأخذ، و إلا، فما عليه الجمهور هنا هو الصواب إهـ من فتاويه إهـ Fath al-‘Alaam III/172


4. Al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah I/816

المالكية قالوا : ليس لصلاة الجنازة سنن بل لها مستحبات وهي الإسرار بها ورفع اليدين عند التكبيرة الأولى فقط حتى يكونا حذو أذنيه كما في الإحرام لغيرها من الصلوات -إلى أن قال- ووقوف الإمام والمنفرد على وسط الرجل وعند منكبي المرأة ويكون رأس الميت عن يمينه رجلا كان أو امرأة إلا في الروضة الشريفة فإنه يكون عن يساره ليكون جهة القبر الشريف وأما المأموم فيقف خلف الإمام كما يقف في غيرها من الصلاة إلخ إهـ

5. Ar-Risaalah al-Haaizah Fii ba’dhi Ahkaam al-Janaazah Hal. 10-21
ومن فتوى العلامة الجليل المدرس بالحرم المكي المنيف الشيخ إسماعيل عثمان الزين لطف الله به مانصه : بسم الله الرحمن الرحيم (أما بعد) فكثيرا ما يذاكرني بعض الإخوان من طلبة العلم الشريف في مسألة فقهية هي في الواقع مسألة كمالية ليست واجبة ولا لازمة بل هي هيئة مندوبة، ولكن ربما كثر فيها النـزاع وطال، ووقع في فهمها وتطبيقها الخلاف واستطال، حتى صار يغلط بعضهم بعضا فيما هو ليس واجبا ولا فرضا؛ هذه المسألة هي كيفية وقوف الإمام والمنفرد في الصلاة على الجنازة. وسبب النزاع والخلاف يرجع إلى أمرين : (أحدهما) سوء الفهم في معنى عبارة بعض الفقهاء، (وثانيهما) تداول النقل للعبارة حتى صار الخطأ في تفسيرها كأنه ليس بالخطأ. وها أنا إن شاء الله أوضح منها المراد وأسلك فيها مسلك الرشاد والسداد، فأقول، وبالله التوفيق : قال الإمام أبو داود في سننه : (باب أين يقوم الإمام من الميت إذا صلى عليه) وساق سند الحديث إلى أنس بن مالك رضي الله عنه أنه صلى الله على رجل فقام عند رأسه، وصلى على امرأة فقام عند عجيزتها. قال له العلاء بن زياد : هكذا كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعل ؟. قال : نعم. وفي الصحيحين من حديث سمرة بن جندب رضي الله عنه قال : صليت وراء النبي صلى الله عليه وسلم على امرأة ماتت في نفاسها فقام وسطها. قال العلامة الأمير : فيه دليل على مشروعية القيام عند وسط المرأة إذا صلى عليها، وهذا مندوب. وأما الواجب فإنما هو استقبال جزء من الميت رجلا أو امرأة. وعن الإمام الشافعي رحمه الله أنه يقف حذاء رأس الرجل وعند عجيزة المرأة لما أخرجه أبو داود والترمذي من حديث أنس إلخ يعني الحديث المتقدم. دل ذلك على أمرين : (أحدهما) واجب؛ وهو محاذاة الإمام أو المنفرد بجميع بدنه جزأ من بدن الميت أي جزء كان، سواء كان رأسه أو بطنه أو رجله أو غير ذلك. (ثانيهما) مندوب ومستحب؛ وهو وقوفه عند رأس الرجل وعند عجيزة المرأة. والحكمة في ذلك أن الرأس هو أشرف أعضاء الإنسان فاستحب الوقوف عنده بشرط محاذاة المصلي له بجميع بدنه. واستحب الوقوف وسط المرأة عند عجيزتها لأنه أستر لها. وفي كلا الحالين رأس الميت سواء كان رجلا أو امرأة مما يلي يمين الإمام لا غير. والأمر الثاني أشار له الفقهاء بقولهم : ويندب أن يقف عند رأس الرجل وعجيزة المرأة. وحرصا منهم على حصول المحاذاة الواجبة بيقين قالوا : ويندب أن يكون معظم رأس الرجل عن يمين الإمام أو المنفرد لتتم المحاذاة، لكن بعضهم عبر بالضمير بدلا عن الظاهر فقال : ويندب أن يقف عند رأس الذكر بحيث يكون معظمه على جهة يمين الإمام. ومن هنا حصل التصرف في العبارة ونشأ الغلط، فظن بعضهم أن الضمير في قوله معظمه يعود على الميت حتى أن بعضهم عبر بالظاهر بدل المضمر على هذا الفهم السيئ فقال : بحيث يكون معظم الميت عن يمين الإمام. وهذا كله غلط وسوء فهم. وإنما المراد أن يكون معظم رأس الميت الذكر عن يمين الإمام ليحصل كمال المحاذاة المطلوبة. ومما يؤيد أن ما قلناه هو الصواب وأن عبارة الفقهاء هي خطأ ناشئ عن سوء الفهم وتداول الأيدي للعبارة أنهم قالوا إذا صلى على القبر أي فيقف عند موضع رأس الرجل وعند موضع عجيزة المرأة. وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى على قبر رجل ووقف عند موضع رأسه، وعلى قبر امرأة ووقف عند موضع عجيزتها. فلو كان الحال كما يقول بعض أهل الحواشي من الفقهاء إن رأس الذكر عن يسار الإمام لكان المصلي على القبر مستدبرا للقبلة، فصلاته باطلة. وحاشا النبي صلى الله عليه وسلم أن يصلي صلاة باطلة مستدبرا للقبلة، وحاشا السلف الصالح بل حاشا المسلمين أجمعين من ذلك. فيا من يقول إن رأس الذكر يكون مما يلي يسار الإمام، إفرض أنك تصلي على رجل في قبره بهذه الكيفية، وتصور وتخيل نفسك تماما، فلاتجد نفسك حينئذ إلا مستدبرا للقبلة. فعبارة المتون والشروح كلها مقصورة على ما هو المفهوم من الحديث فقط، فيقولون : ويندب أن يقف عند رأس الرجل وعجيزة المرأة للإتباع. أما قول بعض أهل الحواشي إن رأس الرجل من جهة يسار الإمام فلا أصل له ولا دليل عليه، بل قد يؤدي في بعض الحالات إلى بطلان الصلاة كما لو صلى على القبر كما سبقت الإشارة إليه. فهذا هو القول الصحيح في المسألة وعليه عمل الناس في جميع الأمصار.

Catatan Kami:
1. Islam sangat menghargai perbedaan pendapat
2. Untuk menyikapi perbedaan pendapat harus arif dan bijaksana. Apabila perbedaan pendapat tersebut dalam hal furu’iyyah maka sebaiknya memilih pendapat yang paling membawa kemaslahatan.
3. Demikian beberapa pendapat yang dapat kami kumpulkan apabila ada kekurangan atau kesalahan dalam tulisan ini kami mohon koreksi demi kebaikan dan kebenaran.

الحمد لله رب العالمين
Writed by Pak Syeh

tradisi tingkepan

ABSTRAK

Makalah : tradisi tingkepan dalam pandangan fiqih
Kata kunci :tradisi, tingkepan, bentuk-bentuk tingkepan, pandangan fiqih terhadap
tradisi tingkepan

Tradisi adalah setiap apa saja yang dibiasakan oleh manusia sehingga mudah bagi mereka untuk melakukannya tanpa mengalami kesulitan. Istilah tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. tradisi tidak hanya diwariskan tetapi ia juga dikonstruksi atau invented yang juga ditunjukan untuk menamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan masa lalu.
Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni atau upacara kehamilan tujuh bulan. Upacara tingkepan adalah upacara utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama, sedangkan kehamilan kedua, ketiga dan seterusnya hanya dengan brokohan saja atau upacara sederhana. Acara tingkepan merupakan tradisi lokal masyarakat jawa yang bersumber dari ajaran Hindu. Bentuk dan praktek upacara tingkepan di beberapa daerah khususnya di daerah jawa Timur ada beberapa perbedaan tapi Yang penting di dalam upacara ini membaca Al-Quran yakni Surat Maryam dan Yusuf atau Luqman .
Islam menempatkan adat atau tradisi pada tempat yang semestinya yaitu dengan memberikan apresiasi yang tinggi sehingga muncul beberapa qoidah fiqh, seperti al ‘a>da>t muhakkama>t, al ashlu fi al ‘a>dat al iba>hatu illa> ma> naha> anhu al shar’u. Penghargaan islam pada adat atau tradisi itu bukan berarti tanpa syarat karena dalam islam, orang tidak bisa serta merta membuat peraturan ibadah tersendiri atau memasukkan kebiasaan mereka menjadi ibadah.
Dalam pelaksanaan acara tingkepan ada beberapa adat yang mana penulis menilai hal itu tindakan tercela yang harus dihindari seperti pemecahan telur atau kendi karena hal itu adalah perbuatan sia-sia yang termasuk tabdzir. Adapaun pelaksanaan tingkepan dengan hanya mengeluarkkan sedekah kepada para undangan yang didalamnya dibacakan sholawat nabi SAW dan ayat- ayat al Qur’an dengan maksud untuk memohon kepada Allah agar ibu yang mengandung dan anak yang masih dalam kandungan Ibu maka hal itu tidaklah tercela sama sekali karena banyak ayat al Qur’an maupun hadits baik yang tersurat maupun yang tersirat memerintahkan untuk berdoa kepada Allah SWT. Shadaqah dan doa adalah suatu bentuk ibadah yang aturannya sangat fleksibel, manusia bisa memilih kapan saja ia harus berdoa’ dan shadaqah dan tentunya dipilih di saat yang mereka perlukan dan hal itu bukan termasuk bid’ah, bahkan sangat dianjurkannya mengeluarkan shodaqoh di saat-saat yang sangat genting karena harapan dikabulkan hajatnya sangat diharapkanTetapi apabila pelakasanaan tingkepan itu di tetapkan harus pada bulan tertentu dan diyakini bahwa penentuan tersebut merupakan suatu keharusan dan bagian dari syariat islam apalagi dengan diisi acara yang dilarang oleh Islam maka hal itu adalah bid’ah yang harus dijauhi.
BAB I
PENDAHULUAN

Jika kita memperhatikan amaliyah masyarakat di sekitar kita khususnya masyarakat Jawa, banyak di antara mereka yang melakukan amaliyah amaliyah yang perlu dipertanyakan dasar hukumnya. Banyak amaliyah - amaliyah tersebut ternyata tidak ditemukan secara jelas dasar hukum dalam teks al Qur’an maupun al Hadits, sedangkan sebuah keniscayaan hal itu kerap kali terjadi bahkan menjadi sebuah tradisi yang terus berlangsung di tengah - tengah masyarakat kita. Tentu hal itu memerlukan kajian dan jawaban hukum serta solusi yang tepat.
Wali songo dalam menyebarkan agama islam di Jawa ketika mereka dihadapkan pada sebuah kenyataan yaitu penduduk lokal telah bergumul dengan tradisi - tradisi baik yang diwarisi oleh agama Hindu dan Budha maupun yang terbentuk dari budaya asli mereka. Para wali songo tidaklah menolak ataupun menentang secara langsung adat istiadat atau tradisi mereka, namun malah menjadikan tradisi tersebut sebagai sarana dakwah dengan diwarnai nilai-nilai yang islami.
Persoalannya, mampukah kita menjadikan adat sebagai lahan dakwah ? jika tidak, akankah kita membiarkan begitu saja tanpa ada solusinya, dan sanggupkah kita menerima dosa karena telah meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar ?
Salah satu tradisi khususnya pada masyarakat jawa adalah tingkepan yaitu upacara kehamilan yang biasa dilakukan pada saat usia kehamilan mencapai usia 3 bulan atau 4 bulan atau 7 bulan. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan membahas masalah – masalah sebagai berikut :
a. Apa tingkepan itu ?
b. Bagaimana bentuk dan praktek tingkepan ?
c. Bagaiman pandangan fikih terhadap tingkepan ?







BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tingkepan
Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni atau upacara kehamilan tujuh bulan. Upacara tingkepan adalah upacara utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama, sedangkan kehamilan kedua, ketiga dan seterusnya hanya dengan brokohan saja atau upacara sederhana.
Dalam pengamatan penulis yang juga seringkali mengikuti acara tingkepan di daerah tempat tinggal penulis yaitu di daerah Sidoarjo, acara tingkepan yang mana di daerah penulis sering di sebut dengan Walimatul Hamli , tingkepan adalah sebuah tasyakuran kehamilan yang biasa dilaksanakan pada saat usia kehamilan mencapai 3 bulan, 4 bulan atau 7 bulan. Dalam acara tersebut tetangga sekitar baik laki-laki maupun perempuan diundang, acara pertama dibacakan ayat suci al Qur’an misalnya surat yusuf, surat maryam, surat Luqman kemudian dilanjutkan dengan pembacaan sholawat nabi kemudian ceramah agama dan ditutup dengan doa dan terkadang ada sebagian masyarakat yang mengadakan khotmil Qur’an yang dimulai sejak pagi hari.
Di setiap daerah tentunya berbeda – beda bentuk acaranya sesuai dengan adat istiadat di daerah tersebut. Jika sang istri hamil usia 120 hari ( 4 bulan ) maka diadakan ritual yang disebut dengan upacara ngapeti atau ngupati, disebut ngapeti karena usia kandungan telah mencapai empat bulan dan disebut ngupati karena dalam upacara tersebut ada hidangan yang berupa kupat.
Referensi tentang tingkepan tidak penulis temukan dalam teks al Qur’an dan hadits ataupun buku-buku fikih karangan mujtahid seperti Imam syafii ataupun lainnya, sehingga penulis memastikan bahwa acara tingkepan merupakan tradisi lokal masyarakat jawa yang bersumber dari ajaran Hindu.
Telonan, Mitoni dan Tingkepan yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarkat adalah tradisi masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut Garba Wedana (garba : perut, Wedana : sedang mengandung). Selama bayi dalam kandungan dibuatkan tumpeng selamatan Telonan, Mitoni (terdapat dalam Kitab Upadesa hal. 46)
Intisari dari sesajinya adalah :
1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip)
2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) si jabang bayi.
3. Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap “Empat Saudara” (sedulur papat) yang menyertai kelahiran sang bayi, yaitu : darah, air, barah, dan ari-ari. (orang Jawa menyebut : kakang kawah adi ari-ari)

B. Bentuk dan praktek tingkepan
Bentuk dan praktek upacara tingkepan di beberapa daerah khususnya di daerah jawa Timur ada beberapa perbedaan tapi Yang penting di dalam upacara ini membaca Al-Quran yakni Surat Maryam dan Yusuf atau Luqman . Pembacaan Al-Qur’an mangandung makna permintaan. Surat Maryam mengandung makna, jika nanti bayi yang dilahirkan perempuan, maka bayi yang dilahirkan akan memiliki kesucian seperti kesucian Maryam. Sedangkan Surat Yusuf dimaksudkan agar jika bayi yang dilahirkan laki-laki, maka ia diharapkan akan menjadi seperti Nabi Yusuf A.S. sedangkan surat luqman dimaksudkan agar anak yang lahir nanti menjadi anak yang sholih seperti nasehat Luqman pada anaknya, selain itu juga ada semacam bacaan lain yang harus dibaca pada ritual tingkepan ini seperti dibaan atau sholawat nabi SAW dengan harapan bahwa bayi yang akan dilahirkan kelak memilki sifat-sifat luhur sebagaimana isi kandungan kitab diba’, yaitu pujian terhadap akhlakul karimah Nabi Muhammad SAW.
Prosesi upacara ini ada yang sangat sederhana dan ada pula yang sangat kompleks. Upacara tingkepan sederhana, kebanyakan biasanya dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, baik yang berlatar belakang petani maupun nelayan. Jika hamil pertama, upacara itu antara lain dengan melakukan rujakan, yang terdiri dari serabut kelapa muda (cengkir) dicampur dengan gula merah, jeruk dan ditempatkan di dalam takir yang terbuat dari daun pisang yang dililiti janur muda, biasanya dua takir. Dua takir lainnya berisi nasi uduk yang atasnya diberi bahan-bahan memasak seperti: terasi, terong dua iris, lombok plumpung merah dua biji, tauge secukupnya, mentimun dua iris, brambang dan bawang secukupnya, dua biji ikan asin (gereh), daging masak beberapa iris dan dua buah udel-udelan. Kemudian ditambah tujuh telur, bucu pitu, dalam posisi yang ditengah besar dan dikelilingi oleh enam buah bucu lainnya kecil-kecil. Dua tampah punar, polo pendem (ubi gembili, sawek tales, ganyong, telo dan sebagainya). Selain itu juga terdapat dua wadah terbuat dari bungkusan daun pisang yang terdiri dari kembang tujuh rupa, yaitu kembang melati, gading, kenanga, empon-empon, mawar dan matahari. Bunga-bunga ini disebut sebagai kembang setaman. Ditambah lagi dengan bubur putih merah dan dua kelapa muda (cengkir).
Bagi orang kaya, upacara tingkepan juga menjadi persoalan yang kompleks. Kerumitan upacara ini menandakan yang melakukan adalah kaum elite, berstatus sosial tinggi. Upacara dimulai pada pukul 4 sore, tentu saja setealah semua peralatan upacara selesai. Upacara dimulai dengan memohon doa restu atau sungkeman. Bapak dan ibu dari kedua belah pihak duduk di kursi ruang tamu dan kedua pelaku upacara berada dalam posisi membungkuk mengahadap pasangan orang tua. Tanpa sepatah kata pun dari pelaku upacara atau pelaku cukup mendekatkan muka ke lutut orang tua, dan orang tua mengelus pundak anak dan menantunya, maka acara sungkeman pun selesai. Pelaku upacara menggunakan jarik panjang dan baju khas Jawa untuk acara sungkeman. Acara pun dilanjutkan dengan ganti pakaian baru, yang terdiri dari kain kebaya yang dililitkan sebatas dada bagian atas. Kemudian dimandikan dengan kembang tujuh rupa . Mulanya yang memandikan kedua orang tua, selanjutnya mertua dan terakhir suami. Ganti kain panjang pun dilakukan sebanyak tujuh kali dan dimandikan sebanyak tujuh kali pula. Acara dilanjutkan dengan memasukan kelapa muda (cengkir) atau kendi atau telur kedalam pakaian oleh suaminya kemudian dijatuhkan (dibanting). Jika cengkir atau telur pecah menandakan bayi yang akan dilahirkan nanti adalah perempuan dan jika cengkir atau telur tadi tidak pecah maka bayi yang dilahirkan itu laki-laki. Tidak cukup sampai disitu, setelah ganti pakaian kering, acara dilanjutkan dengan dodolan dawet duwet kereweng . Kemudian malam harinya baru dilakukan upacara tingkepan dengan membaca Surat Maryam atau Yusuf dan Luqman kemudian dilanjutkan dengan dibaan. Acara pun ditutup dengan doa. Dikalangan orang kaya, yang tidak menggunakan prosesi upacara rumit seperti itu biasanya cukup mengadakan pengajian besar-besaran yang disebut sebgai pengajian walimatul hamli atau perayaan kehamilan.
Dalam pengamatan penulis, tradisi tingkepan atau yang disebut walimatul hamli yang dilakukan di daerah penulis yaitu Sidoarjo bentuk acaranya hampir sama dan sedikit mengalami perbedaan. Acara tingkepan dihadiri oleh para tetangga baik laki-laki maupun perempuan dalam acara tersebut telah disediakan nasi tumpeng, dua buah kelapa muda (cengkir), takir, beras, telor, sumbu kompor, pisang, kupat dan polo pendem. Kegiatan diawali dengan pembacaan al Quran surat Luqman atau surat Yusuf atau surat Maryam dan dilanjutkan dengan pembacaan sholawat Nabi SAW (dibaan) kemudian ceramah agama dan ditutup dengan do’a. sedangkan pemecahan kendi atau telor juga penyiraman terhadap ibu yang sedang hamil beserta suami sudah hampir tidak ada.

C. Pandangan Fiqih terhadap tradisi tingkepan
Istilah tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. Oleh karena itu tradisi tidak menjadikan jenuh untuk dikaji dan diteliti oleh berbagai pihak. Namun adanya tradisi tentu tidak lepas dari ajaran-ajaran atau faham-faham kebudayaan dan keagamaan yang berkembang pada waktu itu. Proses dan pergulatan di dalamnya pastilah ada. Tradisi tidak selamanya stagnan dan flugtuatif. Tradisi bisa saja terus berkembang dan sangat mungkin mengalami pergeseran makna dan bentuk ritual kebiasaannya, besar dan kecilnya bentuk pergeseran itu, karena tradisi diwarisi oleh generasi yang terus berkembang dalam kontek kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain bahwa, tradisi tidak hanya diwariskan tetapi ia juga dikonstruksi atau invented yang juga ditunjukan untuk menamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan masa lalu. Dan tentunya tak salah kemudian proses kesinambungan itu terwujud dalam sebuah Akulturasi, asimilasi bahkan sampai pada Islamisasi kebudayaan yang ada dalam masyarakat tertentu.
Artinya, munculnya istilah Islamisasi merupakan sebuah bukti adanya pergolakan di ranah interaksi dan proses sosialisasi kebudayaan ataupun penyampaian dalam kontek kepercayaan serta keyakinan tertentu pada masyarakat itu sendiri. Bagaimana masyarakat berpikir, bersinggungan langsung dan kemudian menerima kebudayaan serta kepercayaan itu dengan sadar dan apa adanya. Karena memang Islam hadir merupakan sebuah upaya untuk melakukan penyebaran di seluruh jagad raya ini. Tak jarang masyarakat menolak dan tidak menghiraukannnya. Namun karena Islam dengan konteks ajaran keagamaan yang membumi dan berbaur dengan keadaan kebudayaan sekitar maka ia dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat sekitar. Dan sampai sekarang pun ia senantiasa berbaur, berinteraksi langsung dengan masyarakat sehingga ia tetap eksis dilingkungan sekitarnya.
Tingkepan dengan bentuk kegiatan sebagaimana penulis kemukakan di muka maka bisa dipastikan bahwa tingkepaan itu adalah tradisi local yang bersumber dari ajaran hindu yang mengalami perkembangan dan perubahan sehingga di tiap-tiap daerah terkadang bentuk kegiatannya beragam dan sebagian telah mengalami percampuran dengan ajaran Islam.
Berbagai ragam bentuk kegiatan tingkepan itu tentunya membawa implikasi hukum yang berbeda dan harus disikapi dengan arif dan bijaksana sehingga tidak bisa digeneralisir dengan hukum yang sama. Oleh karena itu penulis akan mentafsil hukum tingkepan sebagai berikut :
1. Pandangan fikih terhadap tradisi
Kata tradisi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah adat kebiasaan yang turun temurunn yang masih dijalankan dalam masyarakat . Sedangkan menurut Sa’dy Abu jaib dalam kamus Fikihnya adat atau tradisi adalah setiap apa saja yang dibiasakan oleh manusia sehingga mudah bagi mereka untuk melakukannya tanpa mengalami kesulitan
Islam menempatkan adat atau tradisi pada tempat yang semestinya yaitu dengan memberikan apresiasi yang tinggi sehingga muncul beberapa qoidah fiqh antara lain :
العادة محكمة
الأصل في العادات الإباحة إلا ما نهى عنه الشرع
“ yang ashal di dalam adat itu adalah boleh kecuali apa yang diharamkan oleh syara” .
Juga dalam hadits Nabi SAW
فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيئ
“maka apa saja yang dilihat oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang baik maka hal itu di sisi Allah juga baik, maka apa saja yang dilihat oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang baik maka hal itu di sisi Allah juga baik” (HR Immam Ahmad Bin Hambal)
Penghargaan islam pada adat atau tradisi itu bukan berarti tanpa syarat karena dalam islam, orang tidak bisa serta merta membuat peraturan ibadah tersendiri atau memasukkan kebiasaan mereka menjadi ibadah oleh karena itu ada qoidah fiqih yang sangat terkenal
الأصل في العبادات المنع
“Yang ashal didalam ibadah adalah terlarang”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah berkata, “ Adapun adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan manusia dalam urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan hukum asal pada masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak boleh ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. Karena sesungguhnya memerintah dan melarang adalah hak prerogratif Allah. Maka ibadah harus berdasarkan perintah. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak diperintahkan di hukumi sebagai hal yang dilarang? Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh ahli hadits lainnya mengatakan, bahwa hukum asal dalam ibadah adalah tauqifi (berdasarkan dalil). Maka, ibadah tidak disyariatkan kecuali dengan ketentuan Allah, sedang jika tidak ada ketentuan dari-Nya maka pelakunya termasuk orang dalam firman Allah.
أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله
“Artinya : Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?” (Asy-Syuraa : 21)
Sedangkan hukum asal dalam masalah adat adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak boleh dilarang kecuali yang diharamkan Allah.
Yusuf Al-Qardhawi dalam Al-Halal wal Haram fil Islam berkata, “Adapun adat dan muamalah, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mengandung mafsadat dan mudharat”.
Dengan mengetahui kaidah ini , maka akan tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid’ah dengan penemuan - penemuan baru pada masa sekarang. Di mana masing-masing mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara mandiri.

2. Hukum tradisi tingkepan
Acara tingkepan adalah sebuah tradisi apabila hanya melestarikan belaka dengan tidak menyakini bahwa hal itu termasuk sesuatu yag disyariatkan dan dalam pelaksanaan acara tersebut tidak dilakukan sesuatu yang tercela atau bahkan syirik maka hal itu diperbolehkan, sebagaimana qoidah fiqih
الأصل في العادات الإباحة إلا ما نهى عنه الشرع
Imam Syathibi juga menjelaskan dalam kajian yang panjang dalam Al-I’tisham (II/73-98) yang pada bagian akhirnya disebutkan, “Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi adatnya, maka tidak ada bid’ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan sebagai ibadah atau diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi bid’ah”. Dengan demikian maka “tidak setiap yang belum ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga belum ada pada masa Khulafa Rasyidin dinamakan bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi kekuatan mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang baru dibuat oleh manusia dalam bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah ibadah dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at maka bukan bid’ah sama sekali”
Dalam pelaksanaan acara tingkepan ada beberapa adat yang mana penulis menilai hal itu tindakan tercela yang harus dihindari seperti pemecahan telur atau kendi karena hal itu adalah perbuatan sia-sia yang termasuk tabdzir sebagaimana firman Allah dalam surat al Isro : 26-27
وَآَتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)

Ibnu katsir dalam menafsiri ayat tersebut mengatakan bahwa mujahid berkata seandainya manusia menginfakkan seluruh hartanya dalam hak maka tidaklah termasuk tabdzir, tapi seandainya ia menginfakkan hartanya walaupun satu mud dalam hal yang bukan hak maka termasuk tabdzir. Dan Qotadah berkata tabdzir adalah menggunakan harta dalam kemaksiatan kepada Allah dan dalam hal yang bukan hak dan dalam kerusakan . Begitu juga imam thobari dalam tafsirnya beliau menuqil pendapat Abdulloh ibnu masud bahwa yang dimaksud tabdzir adalah
إنفاق المال في غير حقه.
Adapaun pelaksanaan tingkepan dengan hanya mengeluarkkan sedekah kepada para undangan yang didalamnya dibacakan sholawat nabi SAW dan ayat- ayat al Qur’an dengan maksud untuk memohon kepada Allah agar ibu yang mengandung dan anak yang masih dalam kandungan Ibu maka hal itu tidaklah tercela sama sekali karena banyak ayat al Qur’an maupun hadits baik yang tersurat maupun yang tersirat memerintahkan untuk berdoa kepada Allah SWT. Seperti firman Allah
                      •      •   
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami termasuk orang-orang yang bersyukur".( QS. Al A’rof: 189)
Di dalam surat al Baqoroh Allah berfirman :
                   
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. al baqarah :186)

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُم
“Dan tuhanmu berkata dan berdoalah kepadaku niscaya akan aku kabulkan bagimu” (QS. Ghofir :60)
Sebagian ulama menjadikan hadits riwayat Imam Muslim berikut sebagai penetapan pelaksanaan waktu tingkepan, bahwa manusia dalam kandungan Ibu ketika usia kandungan 4 bulan maka ditiuplah roh dan ditulis taqdirnya, dimasa itulah diadakan do’a bersama dengan tujuan agar jabang bayi yang dikandung Ibu ditaqdir oleh Allah dengaan taqdir yang baik.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ ح وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِىُّ - وَاللَّفْظُ لَهُ - حَدَّثَنَا أَبِى وَأَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ قَالُوا حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ « إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَوَالَّذِى لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا

Dan menurut pandangan penulis shadaqah dan doa adalah suatu bentuk ibadah yang aturannya sangat fleksibel, manusia bisa memilih kapan saja ia harus berdoa’ dan shadaqah dan tentunya dipilih di saat yang mereka perlukan dan hal itu bukan termasuk bid’ah, Zakariya al anshori dalam bukunya asna al matholib menjelaskan tentang sangat dianjurkannya mengeluarkan shodaqoh di saat-saat yang sangat genting karena harapan dikabulkan hajatnya sangat diharapkan ,saat kehamilan adalah bias dikatakan berada dalam situasi yang khusus bahkan Alloh SWT memberi kelonggaran bagi seorang ibu yang sedang hamil untuk tidak berpuasa maka shodaqoh yang dikeluarkan seseorang diwaktu hamil tentunya sangat dianjurkan agar doa dan harapannya dikabulkan oleh Allah.
Tetapi apabila pelakasanaan tingkepan itu di tetapkan harus pada bulan tertentu dan diyakini bahwa penentuan tersebut merupakan suatu keharusan dan bagian dari syariat islam apalagi dengan diisi acara yang dilarang oleh Islam maka hal itu adalah bid’ah yang harus dijauhi.
Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom mengatakan bahwa bid’ah adalah

عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ

Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi). Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, beliau mendefinisikan bahwa bid’ah adalah
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah).
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.”
Nabi SAW bersabda
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنِى خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ قَالَ حَدَّثَنِى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو السُّلَمِىُّ وَحُجْرُ بْنُ حُجْرٍ قَالاَ أَتَيْنَا الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ وَهُوَ مِمَّنْ نَزَلَ فِيهِ (وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ) فَسَلَّمْنَا وَقُلْنَا أَتَيْنَاكَ زَائِرِينَ وَعَائِدِينَ وَمُقْتَبِسِينَ. فَقَالَ الْعِرْبَاضُ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ « أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)


والله اعلم بالصواب










BAB III
KESIMPULAN



Dari pembahasan di atas dapat penulis simpulkan
Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni atau upacara kehamilan tujuh bulan dalam upacara ini telah banyak mengalami perubahan dan perbedaan di setiap daerah khususnya di Jawa.
Adat atau tradisi adalah setiap apa saja yang dibiasakan oleh manusia sehingga mudah bagi mereka untuk melakukannya tanpa mengalami kesulitan. Islam sangat menghargai tradisi sehingga ulama’ ushul Fiqh banyak melahirkan qaidah yang berkaitan dengan tradisi misanya “ pada dasarnya adat atau tradisi itu diperbolehkan sepanjang tidak dilarang oleh syara’
Tradisi tingkepan dalam pandangan fikih mempunyai implikasi hukum yang beragam dengan melihat konteksya. Pada dasarnya tradisi tingkepan itu mubah selama tidak melakukan praktek yang dilarang oleh agama dan tidak menyakini bahwa tradisi tingkepan itu bagian dari syariat Islam.
















DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats,Sunan Abu Dawud. Beirut: Dar al Kutub al ‘araby,tt
Abu Jaib, Sa’dy, Qomus Fiqh. Damasyqus: Dar al Fikr,1993
Ahmad bin Hambal, Musnad al Imam Ahmad bin hambal. Kairo: Muassasah qurtubah,tt
al Anshory,Zakariyah, asna> al matho>lib fi syarhi roudloth al tho>lib,juz 1 ( Beirut: dar al kitab al ilmiyah,2000
al hajja>j, Abu al Husain muslim, Shohi>h Muslim,juz 8. Beirut : dar alji>l,tt
Al ihsan, Muhammad amin, qowa>id fiqh . Karachi : Shodaf bablasrz, 1986
al Thobari, Abu Ja’far, ja>miul baya>n fi ta’wi>l al Qur’an,juz 17( tt, Muassasah alrisalah,2000
Al-Shatiby, Abu ishak Ibrahim bin Musa, al muwafaqot. Aqrabiyah: Dar Ibnu affan, 1999
Al-Shatiby, Abu ishak Ibrahim bin Musa,al I’tishom,Juz II. Syamilah
Http.//hijrah dari syirik & bid’ah, blogspot.com.
Ibn katsir, Abul fida Ismail bin Umar, tafsir al Qur’an al alkarim, juz 5( tt, Dar althayyibah,1999
Ibn Taimiyah , Taqiyuddin Abu al Abbas Ahmad bin Abdul halim, Majmu’ al Fatawa,juz 18 , tt: Dar al wafa’,2005
Ibnu Taimiyah, Al qowa>id al nu>ro>niyah al fiqhiyah. Beirut: dar al ma’rifah,1399 H
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,1988
M. Sholihin, Ritual dan tradisi islam Jawa,Yogyakarta: Narasi,2010
Mulhis qowaid al fiqhiyah, Syamilah
Munjid, Syaikh Muhammad Sholih, Fata>wa>, Syamilah
Nur Syam, Islam Pesisir . Yogyakarta : LKiS,2005
Qordlowi, Yusuf, Halal dan haram dalam islam, terj. Muammal Hamidy. Surabaya : Pt. Bina Ilmu, 1993