Senin, 24 Juni 2013

posisi kepala jenazah ketika disholati

Posisi Kepala Jenazah Ketika Dishalati

A. Hadits-hadits yang berkaitan dengan posisi kepala jenazah ketika disholati

 Jika mayitnya adalah seorang wanita, maka imam berdiri di sisi tengah mayit.
Samurah bin Jundub radliyallahu anhu berkata:

صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِي نِفَاسِهَا فَقَامَ عَلَيْهَا وَسَطَهَا
“Aku melakukan shalat di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam atas mayit wanita yang mati karena nifasnya. Maka beliau berdiri padanya di sisi tengahnya.”
(HR. al-Bukhari: 1245, Muslim: 1602, an-Nasa’i: 390, at-Tirmidzi: 956, Abu Dawud: 2780 dan Ibnu Majah: 2780).
 Dan jika si mayit adalah orang laki-laki, maka imam berdiri di sisi kepalanya.
Abu Ghalib al-Khayyath berkata:

شَهِدْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى عَلَى جِنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَلَمَّا رُفِعَ أُتِيَ بِجِنَازَةِ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ أَوْ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقِيلَ لَهُ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَذِهِ جِنَازَةُ فُلَانَةَ ابْنَةِ فُلَانٍ فَصَلِّ عَلَيْهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا فَقَامَ وَسَطَهَا وَفِينَا الْعَلَاءُ بْنُ زِيَادٍ الْعَدَوِيُّ فَلَمَّا رَأَى اخْتِلَافَ قِيَامِهِ عَلَى الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ قَالَ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ مِنْ الرَّجُلِ حَيْثُ قُمْتَ وَمِنْ الْمَرْأَةِ حَيْثُ قُمْتَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا الْعَلَاءُ فَقَالَ احْفَظُوا
“Aku menyaksikan Anas bin Malik menshalati atas jenazah seorang laki-laki, maka beliau berdiri di sisi kepalanya. Ketika jenazah tersebut diangkat, maka didatangkan lagi kepada beliau jenazah seorang wanita Quraisy atau Anshar. Maka dikatakan kepada beliau: “Wahai Abu Hamzah! Ini adalah jenazah Fulanah bintu Fulan, mohon engkau menshalati atasnya!” Maka beliau pun menshalatinya dan berdiri di sisi tengahnya. Di sisi kami ada Ala’ bin Ziyad al-Adawi. Ketika ia (Ala’) melihat perbedaan posisi berdirinya Anas bin Malik atas jenazah laki-laki dan wanita, maka ia bertanya: “Wahai Abu Hamzah! Apakah seperti ini posisi berdiri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terhadap jenazah laki-laki seperti posisi berdirimu dan juga posisi berdiri beliau terhadap jenazah wanita seperti posisi berdirimu?” Anas menjawab: “Benar.” Maka Ala’ menoleh kepada kita dan berkata: “Hafalkanlah !”
(HR. Ahmad: 12640, at-Tirmidzi: 955, Abu Dawud: 2779 dan Ibnu Majah: 1483. )
.
Pada hadits di atas tidak dijelaskan apakah posisi kepala jenazah berada di sisi kanan imam (sisi utara imam menurut orang Indonesia) ataukah di sisi kiri imam (sisi selatan imam menurut orang Indonesia). Dari sinilah muncul perbedaan pandangan para ulama. Dan akan kami paparkan permasalahan tersebut dalam pembahasan berikut ini

B. Ulama-ulama yang berpendapat tentang posisi kepala jenazah laki-laki berada di sisi kanan imam (sisi utara imam menurut orang Indonesia)
1. Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah, ulama Madinah masa kini.
Beliau ditanya:
السؤال: هل ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه جعل رأس الميت في صلاة الجنازة عن يسار الإمام، ورأس المرأة عن يمينه؟ الجواب: كلهم يكونون عن يمينه، مثل وضعهم في القبر، ومثله لو صلى عليهم وهم في القبر، فإن الميت يكون في القبر مستقبل القبلة، وما نعرف شيئاً يدل على خلاف ذلك.
Pertanyaan: “Apakah terdapat keterangan yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau menjadikan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam dan kepala mayit wanita di sebelah kanan imam?” Jawab: “Semua kepala mayit diletakkan di sebelah kanan imam seperti ketika diletakkan di kuburan. Demikian pula ketika menshalati mereka ketika mereka sudah dikubur. Maka si mayit di kuburannya menghadap kiblat dan kami tidak mengetahui keterangan yang menyelisihi ini.” (Syarh Sunan Abi Dawud: 17/159).

2. Al-Allamah Ibnu Abidin rahimahullah, ulama bermadzab Hanafi yang wafat tahun 1252 H.

(قَوْلُهُ وَصَحَّتْ لَوْ وَضَعُوا إلَخْ) كَذَا فِي الْبَدَائِعِ ، وَفَسَّرَهُ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ مَعْزِيًّا لِلتَّتَارْخَانِيَّةِ بِأَنْ وَضَعُوا رَأْسَهُ مِمَّا يَلِي يَسَارَ الْإِمَامِ ا هـ فَأَفَادَ أَنَّ السُّنَّةَ وَضْعُ رَأْسِهِ مِمَّا يَلِي يَمِينَ الْإِمَامِ كَمَا هُوَ الْمَعْرُوفُ الْآنَ ، وَلِهَذَا عَلَّلَ فِي الْبَدَائِعِ لِلْإِسَاءَةِ بِقَوْلِهِ لِتَغْيِيرِهِمْ السُّنَّةَ الْمُتَوَارَثَةَ
“(Ucapan pemilik matan “Dan shalat jenazahnya tetap sah jika mereka meletakkan…dst”): maksudnya (sebagaimana dalam al-Bada’i (Bada’ius Shana’i karya Al-Kasani, pen), dan ditafsirkan dalam Syarh Al-Maniyyah)… adalah meletakkan kepala mayit di sisi kiri imam. Selesai. Maka keterangan ini memberikan faedah bahwa as-Sunnah di dalam meletakkan kepala mayit adalah di sisi kanan imam sebagaimana yang dikenal sekarang. Oleh karena itu penulis al-Bada’i memberi alasan jeleknya (meletakkan kepala mayit di sisi kiri imam, pen) dengan ucapannya “karena mereka telah mengubah as-Sunnah yang turun temurun.” (Raddul Mukhtar alad Durril Mukhtar: 6/282).

3. Al-Allamah Muhammad bin Yusuf al-Abdari rahimahullah, ulama bermadzhab Maliki yang wafat tahun 897 H.
(رَأْسُ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِهِ) ابْنُ عَرَفَةَ : يَجْعَلُ رَأْسَ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِ الْإِمَامِ فَلَوْ عَكَسَ فَقَالَ سَحْنُونَ وَابْنُ الْقَاسِمِ: صَلَاتُهُمْ مُجْزِئَةٌ عَنْهُمْ . ابْنُ رُشْدٍ : فَالْأَمْرُ فِي ذَلِكَ وَاسِعٌ .
“(Kepala mayit di sebelah kanan imam). Ibnu Arafah menyatakan bahwa kepala mayit diletakkan di sisi kanan imam, seandainya terbalik (kepala di posisi kiri, pen), maka menurut Sahnun dan Ibnul Qasim, maka shalat mereka telah mencukupi (tidak usah diulang). Ibnu Rusyd (penulis Bidayatul Mujtahid) berkata: “Perkara ini luas (boleh di kanan atau di kiri imam).” (At-Taj wal Iklil Syarh Mukhtashar Khalil: 2/352).
4. al-Allamah ad-Dasuqi rahimahullah, ulama bermadzhab Maliki yang wafat tahun 1230 H. Beliau berkata:
وَ( قَوْلُهُ رَأْسُ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِهِ ) جُمْلَةٌ حَالِيَّةٌ مِنْ إمَامٍ وَ ( قَوْلُهُ إلَّا فِي الرَّوْضَةِ الشَّرِيفَةِ ) أَيْ فَإِنَّهُ يَجْعَلُ رَأْسَ الْمَيِّتِ عَلَى يَسَارِ الْإِمَامِ جِهَةَ الْقَبْرِ الشَّرِيفِ
“Dan ucapan matan (Kepala mayit di sebelah kanan imam) adalah jumlah yang menjadi hal dari imam. Dan ucapan matan (kecuali (jika mayit dishalatkan, pen) di Raudlah yang mulia), maksudnya adalah bahwa kepala mayit diletakkan di kiri imam pada arah kuburan ar-Rasul yang mulia.” (Hasyiyah ad-Dasuqi alasy Syarhil Kabir: 4/149).

5. Menurut arti implisit dari kitab Al- majmu', dan praktek yg dilakukan para ulama' salaf, adalah di kanan imam (kepala di utara). lihat Al Majmu’ 5/225
6. al-Allamah Abdullah bin al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah, ulama Nejd terdahulu. Beliau berkata:
وأما صفة موضعهم بين يدي الإمام للصلاة عليهم، فتجعل رؤوسهم كلهم عن يمين الإمام، وتجعل وسط المرأة حذا صدر الرجل، ليقف الإمام من كل نوع موقفه، لأن السنة أن يقف عند صدر الرجل ووسط المرأة.
“Adapun sifat letak kumpulan jenazah di depan imam untuk dishalati atas mereka, maka kepala mereka semua diletakkan di sisi kanan imam. Dan sisi tengah mayit wanita diluruskan dengan sisi dada mayit laki-laki agar imam dapat berdiri pada posisi yang tepat sesuai dengan macam mayit. Karena menurut as-Sunnah adalah berdiri di sisi dada mayit laki-laki dan sisi tengah mayit wanita.” (Ad-Durarus Sunniyyah fil Kutubin Najdiyyah: 5/83).

C. Ulama-ulama yang berpendapat tentang posisi kepala jenazah laki-laki berada di sisi kiri imam (sisi selatan imam menurut orang Indonesia)
1. al-Allamah Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairami rahimahullah, ulama bermadzab Syafii yang wafat tahun 1221 H.

وَيُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافًا لِمَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ أَمَّا الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى فَيَقِفُ الْإِمَامُ عِنْدَ عَجِيزَتِهِمَا وَيَكُونُ رَأْسُهُمَا لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى عَادَةِ النَّاسِ الْآنَ
“Dan kepala mayit laki-laki diletakkan di sisi kiri imam dan sebagian besar tubuhnya di sisi kanannya, dengan menyelisihi apa yang dilakukan manusia sekarang. Adapaun mayit wanita dan banci, maka imam berdiri pada sisi pantatnya dan kepalanya di sisi kanannya, sesuai dengan kebiasaan manusia sekarang.” (Hasyiyah al-Bujairami alal Minhaj: 4/500).

2. al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah, ulama bermadzab Syafii yang wafat tahun 974 H.

وَفِي هَامِشِ الْمُغْنِي لِصَاحِبِهِ وَالْأَوْلَى كَمَا قَالَ السَّمْهُودِيُّ فِي حَوَاشِي الرَّوْضَةِ جَعْلُ رَأْسِ الذَّكَرِ عَنْ يَسَارِ الْإِمَامِ لِيَكُونَ مُعْظَمُهُ عَلَى يَمِينِ الْإِمَامِ ا هـ

“Dan di dalam catatan kaki Al-Mughni (Mughnil Muhtaj karya asy-Syarbini, pen) (terdapat keterangan) bahwa yang lebih utama sebagaimana pendapat as-Samhudi dalam Hasyiyah Ar-Raudlah (Raudlatut Thalibin karya an-Nawawi, pen) adalah menjadikan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam agar sebagian besar tubuhnya berada di sisi kanan imam. Selesai.” (Tuhfatul Muhtaj Syarh Minhajith Thalibin: 11/186).

3. Hasyiyah al-Bujairomi alaa al-Manhaj juz I/hal. 484

قوله : ويقف غير مأموم إلخ ) ويوضع رأس الذكر لجهة يسار الإمام ويكون غالبه لجهة يمينه خلافا لما عليه عمل الناس الآن أما الأنثى والخنثى فيقف الإمام عند عجيزتهما ويكون رأسهما لجهة يمينه على عادة الناس الآن ع ش ، والحاصل أنه يجعل معظم الميت عن يمين المصلي ، فحينئذ يكون رأس الذكر جهة يسار المصلي ، والأنثى بالعكس إذا لم تكن عند القبر الشريف أما إن كانت هناك ، فالأفضل جعل رأسها على اليسار كرأس الذكر ليكون رأسها جهة القبر الشريف سلوكا للأدب كما قاله بعض المحققين .

Menurut keterangan dalam ‘ibaroh diatas “Sebaiknya bila mayat lelaki, bagian kepala diletakkan diarah kirinya orang yang shalat (sebelah selatan untuk konteks Indonesia) sedang bila mayat wanita, bagian kepala diletakkan diarah kanannya orang yang shalat (sebelah utara untuk konteks Indonesia).

4. Fath al-‘Alaam III/172

ويقف ندبا غير مأموم من إمام ومنفرد عند رأس ذكر وعجز غيره من أنثى وخنثى. ويوضع رأس الذكر لجهة يسار الإمام، ويكون غالبه لجهة يمينه، خلافا لما عليه عمل الناس الآن. أما الأنثى والخنثى فيقف الإمام عند عجيزتيهما ويكون رأسهما لجهة يمينه على عادة الناس الآن؛ كذا في الشبرا ملسي والبجيرمي والجمل وغيرهما من حواشي المصريين.
“Bagi Imam sholat dan orang yang sholat sendirian, disunnahkan memposisikan diri -ketika sholat janazah- di dekat kepala mayit laki-laki dan di dekat bokong mayit perempuan dan banci. Kepala mayit laki-laki diletakkan pada posisi arah kiri imam -sedangkan yang mentradisi ada pada arah kanan imam-, hal ini berbeda dengan yang biasa dilakukan masyarakat saat ini. Adapun mayit perempuan dan banci, maka imam memposisikan dirinya di dekat bokong janazah, sedangkan kepala janazah diletakkan pada posisi arah kanan sebagaimana biasa dilakukan saat ini.”

5. Kitab Al-Bujairimi ala al-Khatib, Juz 6, hlm. 97:

قَوْلُهُ : (عِنْدَ رَأْسِ ذَكَرٍ إلَخْ) عِبَارَةُ ع ش : وَتُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافَ مَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ، أَمَّا الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى فَيَقِفُ الْإِمَامُ عِنْدَ عَجِيزَتِهِمَا وَيَكُونُ رَأْسَهُمَا لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى مَا عَلَيْهِ النَّاسُ الْآنَ ا هـ .

“Ketika shalat, kepala mayit laki-laki diletakkan di sebeah kiri imam sehingga mayoritas badan mayit berada di sebelah kanan imam. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan masyarakat sekarang. Adapun mayit perempuan atau banci, imam berdiri di hadapan pantatnya dengan kepala mayit berada di sebelah kanan imam seperti yang dipraktekan oleh masyarakat sekarang.”

6. Referensi lain :
 Tarsyikhul Mustafidin : 141-142
 Faidlul ilah : 1/220
 Fathul 'Allam : 3/172
 As-Syarwani : 3/156
 Al-Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah : 1/816
 Bujarimi Khathib : 2/536
 Bughyatul Mustarsyidin : 94
 Hasyiyah Qulyubi : 1/236-237


D. Ulama-ulama yang berpendapat tentang posisi kepala jenazah laki-laki boleh berada di sisi kiri imam (sisi selatan imam menurut orang Indonesia) atau sisi kanan imam (sisi utara imam menurut orang Indonesia)

1. al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah, ulama besar Saudi Arabia, Beliau berkata:
تنبيه: لا يشترط أن يكون رأس الميت عن يمين الإمام، فيجوز أن يكون عن يسار الإمام ويمينه. خلافاً لما يعتقد بعض العامة من أنه لا بد أن يكون عن يمينه.
“Peringatan: Tidak dipersyaratkan meletakkan kepala mayit di sisi kanan imam. Sehingga boleh meletakkannya di sisi kiri imam dan juga sisi kanannya. Berbeda dengan apa yang diyakini oleh sebagian orang awam yang mengharuskan meletakkan kepala mayit di sisi kanan imam.” (asy-Syarhul Mumti’: 5/317).

فإن كان ذكرا قام الإمام عند رأسه وإن كانت أنثى قام عند وسطها ولا فرق أن يكون الرأس عن يسار الإمام أو عن يمين الإمام لأنه لم يرد في ذلك سنة معينة ولو أن ذاهب ذهب إلى أن يكون الرأس عن يسار الإمام لتكون جملة الميت عن يمين الإمام لكان له وجه لكننا لا نعلم في هذا سنة فالمسألة سهلة وما ظنه بعض الإمام من أن الميت يكون رأسه عن يمين الإمام فهذا لا أصل له اجعله عن يمينك أو عن يسارك المهم أن الرجل تقف عن رأسه والمرأة عند وسطها
“Jika mayitnya adalah laki-laki, maka imam berdiri di sisi kepalanya. Jika mayitnya wanita, maka imam berdiri di sisi tengahnya. Dan tidak ada bedanya antara posisi kepala mayit di sisi kiri imam atau sisi kanan imam, karena tidak terdapat sunnah tertentu yang menjelaskannya. Dan seandainya seseorang berpendapat bahwa kepala mayit berada di sisi kiri imam agar sebagian besar tubuh mayit berada di sisi kanan imam, maka pendapat tersebut memiliki wajah (sebagaimana pendapat Syafiiyah, pen). Akan tetapi kami tidak mendapati sunnah dalam perkara ini (yang sesuai sunnah di kiri ataukah di kanan, pen). Dan apa yang disangkakan oleh sebagian imam bahwa kepala mayit harus di sebelah kanan imam, maka persangkaan ini tidak ada asalnya. Silakan kamu letakkan kepala mayit di sisi kanan atau sisi kirimu. Yang penting, jika mayit laki-laki, maka kamu berdiri di sisi kepalanya dan jika wanita, maka kamu berdiri di sisi tengahnya.” (asy-Syarhul Mukhtashar ala Bulughil Maram lil Utsaimin: 4/47).

2. al-Allamah Ibnu Utsaimin

هل وضع رأس الميت عن يمين الإمام مشروع عند الصلاة عليه؟ فأجاب فضيلته بقوله: لا أعلم بهذا سنة، ولذلك ينبغي للإمام الذي يصلي على الجنازة أن يجعل رأس الجنازة عن يساره أحياناً حتى يتبين للناس أنه ليس واجباً أن يكون الرأس عن اليمين، لأن الناس يعتقدون أنه لابد أن يكون رأس الجنازة عن يمين الإمام، وهذا لا أصل له
“Apakah meletakkan kepala mayit di sisi kanan imam itu disyariatkan ketika menshalatinya?
Maka beliau menjawab: “Aku tidak mengetahui sunnah dalam perkara ini (meletakkan kepala di sisi kanan, pen). Oleh karena itu hendaknya imam yang akan menshalati jenazah meletakkan kepala jenazah di sebelah kirinya sekali tempo, agar manusia menjadi jelas bahwa meletakkan kepala di sisi kanan tidaklah wajib, karena manusia berkeyakinan bahwa kepala jenazah harus diletakkan di sisi kanan imam. Dan ini tidak ada asalnya.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni Utsaimin: 17/60).

3. As Syekh Abdullah Basudan Al Hadlramy yang diikuti As Syekh Isma’il ‘Utsman Az Zayn Al Yamany -dengan argumentasi sholat Rosulullah terhadap janazah (laki-laki dan perempuan) yang sudah dikuburkan- lebih cenderung berpendapat tidak membedakan posisi kepala janazah ketika disholati yaitu pada arah kanan imam/munfarid (arah utara untuk konteks Indonesia), baik janazah laki-laki maupun janazah perempuan atau banci.

قال الشيخ عبد الله باسودان الحضرمي : لكنه مجرد بحث. وأخذ من كلام المجموع وفعل السلف من علماء وصلحاء في جهتنا حضرموت وغيرها جعل رأس الذكر في الصلاة عن اليمين أيضا. والمعول عليه هو النص إن وجد من مرجح لا على سبيل البحث والأخذ، و إلا، فما عليه الجمهور هنا هو الصواب إهـ من فتاويه إهـ Fath al-‘Alaam III/172


4. Al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah I/816

المالكية قالوا : ليس لصلاة الجنازة سنن بل لها مستحبات وهي الإسرار بها ورفع اليدين عند التكبيرة الأولى فقط حتى يكونا حذو أذنيه كما في الإحرام لغيرها من الصلوات -إلى أن قال- ووقوف الإمام والمنفرد على وسط الرجل وعند منكبي المرأة ويكون رأس الميت عن يمينه رجلا كان أو امرأة إلا في الروضة الشريفة فإنه يكون عن يساره ليكون جهة القبر الشريف وأما المأموم فيقف خلف الإمام كما يقف في غيرها من الصلاة إلخ إهـ

5. Ar-Risaalah al-Haaizah Fii ba’dhi Ahkaam al-Janaazah Hal. 10-21
ومن فتوى العلامة الجليل المدرس بالحرم المكي المنيف الشيخ إسماعيل عثمان الزين لطف الله به مانصه : بسم الله الرحمن الرحيم (أما بعد) فكثيرا ما يذاكرني بعض الإخوان من طلبة العلم الشريف في مسألة فقهية هي في الواقع مسألة كمالية ليست واجبة ولا لازمة بل هي هيئة مندوبة، ولكن ربما كثر فيها النـزاع وطال، ووقع في فهمها وتطبيقها الخلاف واستطال، حتى صار يغلط بعضهم بعضا فيما هو ليس واجبا ولا فرضا؛ هذه المسألة هي كيفية وقوف الإمام والمنفرد في الصلاة على الجنازة. وسبب النزاع والخلاف يرجع إلى أمرين : (أحدهما) سوء الفهم في معنى عبارة بعض الفقهاء، (وثانيهما) تداول النقل للعبارة حتى صار الخطأ في تفسيرها كأنه ليس بالخطأ. وها أنا إن شاء الله أوضح منها المراد وأسلك فيها مسلك الرشاد والسداد، فأقول، وبالله التوفيق : قال الإمام أبو داود في سننه : (باب أين يقوم الإمام من الميت إذا صلى عليه) وساق سند الحديث إلى أنس بن مالك رضي الله عنه أنه صلى الله على رجل فقام عند رأسه، وصلى على امرأة فقام عند عجيزتها. قال له العلاء بن زياد : هكذا كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعل ؟. قال : نعم. وفي الصحيحين من حديث سمرة بن جندب رضي الله عنه قال : صليت وراء النبي صلى الله عليه وسلم على امرأة ماتت في نفاسها فقام وسطها. قال العلامة الأمير : فيه دليل على مشروعية القيام عند وسط المرأة إذا صلى عليها، وهذا مندوب. وأما الواجب فإنما هو استقبال جزء من الميت رجلا أو امرأة. وعن الإمام الشافعي رحمه الله أنه يقف حذاء رأس الرجل وعند عجيزة المرأة لما أخرجه أبو داود والترمذي من حديث أنس إلخ يعني الحديث المتقدم. دل ذلك على أمرين : (أحدهما) واجب؛ وهو محاذاة الإمام أو المنفرد بجميع بدنه جزأ من بدن الميت أي جزء كان، سواء كان رأسه أو بطنه أو رجله أو غير ذلك. (ثانيهما) مندوب ومستحب؛ وهو وقوفه عند رأس الرجل وعند عجيزة المرأة. والحكمة في ذلك أن الرأس هو أشرف أعضاء الإنسان فاستحب الوقوف عنده بشرط محاذاة المصلي له بجميع بدنه. واستحب الوقوف وسط المرأة عند عجيزتها لأنه أستر لها. وفي كلا الحالين رأس الميت سواء كان رجلا أو امرأة مما يلي يمين الإمام لا غير. والأمر الثاني أشار له الفقهاء بقولهم : ويندب أن يقف عند رأس الرجل وعجيزة المرأة. وحرصا منهم على حصول المحاذاة الواجبة بيقين قالوا : ويندب أن يكون معظم رأس الرجل عن يمين الإمام أو المنفرد لتتم المحاذاة، لكن بعضهم عبر بالضمير بدلا عن الظاهر فقال : ويندب أن يقف عند رأس الذكر بحيث يكون معظمه على جهة يمين الإمام. ومن هنا حصل التصرف في العبارة ونشأ الغلط، فظن بعضهم أن الضمير في قوله معظمه يعود على الميت حتى أن بعضهم عبر بالظاهر بدل المضمر على هذا الفهم السيئ فقال : بحيث يكون معظم الميت عن يمين الإمام. وهذا كله غلط وسوء فهم. وإنما المراد أن يكون معظم رأس الميت الذكر عن يمين الإمام ليحصل كمال المحاذاة المطلوبة. ومما يؤيد أن ما قلناه هو الصواب وأن عبارة الفقهاء هي خطأ ناشئ عن سوء الفهم وتداول الأيدي للعبارة أنهم قالوا إذا صلى على القبر أي فيقف عند موضع رأس الرجل وعند موضع عجيزة المرأة. وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى على قبر رجل ووقف عند موضع رأسه، وعلى قبر امرأة ووقف عند موضع عجيزتها. فلو كان الحال كما يقول بعض أهل الحواشي من الفقهاء إن رأس الذكر عن يسار الإمام لكان المصلي على القبر مستدبرا للقبلة، فصلاته باطلة. وحاشا النبي صلى الله عليه وسلم أن يصلي صلاة باطلة مستدبرا للقبلة، وحاشا السلف الصالح بل حاشا المسلمين أجمعين من ذلك. فيا من يقول إن رأس الذكر يكون مما يلي يسار الإمام، إفرض أنك تصلي على رجل في قبره بهذه الكيفية، وتصور وتخيل نفسك تماما، فلاتجد نفسك حينئذ إلا مستدبرا للقبلة. فعبارة المتون والشروح كلها مقصورة على ما هو المفهوم من الحديث فقط، فيقولون : ويندب أن يقف عند رأس الرجل وعجيزة المرأة للإتباع. أما قول بعض أهل الحواشي إن رأس الرجل من جهة يسار الإمام فلا أصل له ولا دليل عليه، بل قد يؤدي في بعض الحالات إلى بطلان الصلاة كما لو صلى على القبر كما سبقت الإشارة إليه. فهذا هو القول الصحيح في المسألة وعليه عمل الناس في جميع الأمصار.

Catatan Kami:
1. Islam sangat menghargai perbedaan pendapat
2. Untuk menyikapi perbedaan pendapat harus arif dan bijaksana. Apabila perbedaan pendapat tersebut dalam hal furu’iyyah maka sebaiknya memilih pendapat yang paling membawa kemaslahatan.
3. Demikian beberapa pendapat yang dapat kami kumpulkan apabila ada kekurangan atau kesalahan dalam tulisan ini kami mohon koreksi demi kebaikan dan kebenaran.

الحمد لله رب العالمين
Writed by Pak Syeh

tradisi tingkepan

ABSTRAK

Makalah : tradisi tingkepan dalam pandangan fiqih
Kata kunci :tradisi, tingkepan, bentuk-bentuk tingkepan, pandangan fiqih terhadap
tradisi tingkepan

Tradisi adalah setiap apa saja yang dibiasakan oleh manusia sehingga mudah bagi mereka untuk melakukannya tanpa mengalami kesulitan. Istilah tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. tradisi tidak hanya diwariskan tetapi ia juga dikonstruksi atau invented yang juga ditunjukan untuk menamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan masa lalu.
Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni atau upacara kehamilan tujuh bulan. Upacara tingkepan adalah upacara utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama, sedangkan kehamilan kedua, ketiga dan seterusnya hanya dengan brokohan saja atau upacara sederhana. Acara tingkepan merupakan tradisi lokal masyarakat jawa yang bersumber dari ajaran Hindu. Bentuk dan praktek upacara tingkepan di beberapa daerah khususnya di daerah jawa Timur ada beberapa perbedaan tapi Yang penting di dalam upacara ini membaca Al-Quran yakni Surat Maryam dan Yusuf atau Luqman .
Islam menempatkan adat atau tradisi pada tempat yang semestinya yaitu dengan memberikan apresiasi yang tinggi sehingga muncul beberapa qoidah fiqh, seperti al ‘a>da>t muhakkama>t, al ashlu fi al ‘a>dat al iba>hatu illa> ma> naha> anhu al shar’u. Penghargaan islam pada adat atau tradisi itu bukan berarti tanpa syarat karena dalam islam, orang tidak bisa serta merta membuat peraturan ibadah tersendiri atau memasukkan kebiasaan mereka menjadi ibadah.
Dalam pelaksanaan acara tingkepan ada beberapa adat yang mana penulis menilai hal itu tindakan tercela yang harus dihindari seperti pemecahan telur atau kendi karena hal itu adalah perbuatan sia-sia yang termasuk tabdzir. Adapaun pelaksanaan tingkepan dengan hanya mengeluarkkan sedekah kepada para undangan yang didalamnya dibacakan sholawat nabi SAW dan ayat- ayat al Qur’an dengan maksud untuk memohon kepada Allah agar ibu yang mengandung dan anak yang masih dalam kandungan Ibu maka hal itu tidaklah tercela sama sekali karena banyak ayat al Qur’an maupun hadits baik yang tersurat maupun yang tersirat memerintahkan untuk berdoa kepada Allah SWT. Shadaqah dan doa adalah suatu bentuk ibadah yang aturannya sangat fleksibel, manusia bisa memilih kapan saja ia harus berdoa’ dan shadaqah dan tentunya dipilih di saat yang mereka perlukan dan hal itu bukan termasuk bid’ah, bahkan sangat dianjurkannya mengeluarkan shodaqoh di saat-saat yang sangat genting karena harapan dikabulkan hajatnya sangat diharapkanTetapi apabila pelakasanaan tingkepan itu di tetapkan harus pada bulan tertentu dan diyakini bahwa penentuan tersebut merupakan suatu keharusan dan bagian dari syariat islam apalagi dengan diisi acara yang dilarang oleh Islam maka hal itu adalah bid’ah yang harus dijauhi.
BAB I
PENDAHULUAN

Jika kita memperhatikan amaliyah masyarakat di sekitar kita khususnya masyarakat Jawa, banyak di antara mereka yang melakukan amaliyah amaliyah yang perlu dipertanyakan dasar hukumnya. Banyak amaliyah - amaliyah tersebut ternyata tidak ditemukan secara jelas dasar hukum dalam teks al Qur’an maupun al Hadits, sedangkan sebuah keniscayaan hal itu kerap kali terjadi bahkan menjadi sebuah tradisi yang terus berlangsung di tengah - tengah masyarakat kita. Tentu hal itu memerlukan kajian dan jawaban hukum serta solusi yang tepat.
Wali songo dalam menyebarkan agama islam di Jawa ketika mereka dihadapkan pada sebuah kenyataan yaitu penduduk lokal telah bergumul dengan tradisi - tradisi baik yang diwarisi oleh agama Hindu dan Budha maupun yang terbentuk dari budaya asli mereka. Para wali songo tidaklah menolak ataupun menentang secara langsung adat istiadat atau tradisi mereka, namun malah menjadikan tradisi tersebut sebagai sarana dakwah dengan diwarnai nilai-nilai yang islami.
Persoalannya, mampukah kita menjadikan adat sebagai lahan dakwah ? jika tidak, akankah kita membiarkan begitu saja tanpa ada solusinya, dan sanggupkah kita menerima dosa karena telah meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar ?
Salah satu tradisi khususnya pada masyarakat jawa adalah tingkepan yaitu upacara kehamilan yang biasa dilakukan pada saat usia kehamilan mencapai usia 3 bulan atau 4 bulan atau 7 bulan. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan membahas masalah – masalah sebagai berikut :
a. Apa tingkepan itu ?
b. Bagaimana bentuk dan praktek tingkepan ?
c. Bagaiman pandangan fikih terhadap tingkepan ?







BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tingkepan
Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni atau upacara kehamilan tujuh bulan. Upacara tingkepan adalah upacara utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama, sedangkan kehamilan kedua, ketiga dan seterusnya hanya dengan brokohan saja atau upacara sederhana.
Dalam pengamatan penulis yang juga seringkali mengikuti acara tingkepan di daerah tempat tinggal penulis yaitu di daerah Sidoarjo, acara tingkepan yang mana di daerah penulis sering di sebut dengan Walimatul Hamli , tingkepan adalah sebuah tasyakuran kehamilan yang biasa dilaksanakan pada saat usia kehamilan mencapai 3 bulan, 4 bulan atau 7 bulan. Dalam acara tersebut tetangga sekitar baik laki-laki maupun perempuan diundang, acara pertama dibacakan ayat suci al Qur’an misalnya surat yusuf, surat maryam, surat Luqman kemudian dilanjutkan dengan pembacaan sholawat nabi kemudian ceramah agama dan ditutup dengan doa dan terkadang ada sebagian masyarakat yang mengadakan khotmil Qur’an yang dimulai sejak pagi hari.
Di setiap daerah tentunya berbeda – beda bentuk acaranya sesuai dengan adat istiadat di daerah tersebut. Jika sang istri hamil usia 120 hari ( 4 bulan ) maka diadakan ritual yang disebut dengan upacara ngapeti atau ngupati, disebut ngapeti karena usia kandungan telah mencapai empat bulan dan disebut ngupati karena dalam upacara tersebut ada hidangan yang berupa kupat.
Referensi tentang tingkepan tidak penulis temukan dalam teks al Qur’an dan hadits ataupun buku-buku fikih karangan mujtahid seperti Imam syafii ataupun lainnya, sehingga penulis memastikan bahwa acara tingkepan merupakan tradisi lokal masyarakat jawa yang bersumber dari ajaran Hindu.
Telonan, Mitoni dan Tingkepan yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarkat adalah tradisi masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut Garba Wedana (garba : perut, Wedana : sedang mengandung). Selama bayi dalam kandungan dibuatkan tumpeng selamatan Telonan, Mitoni (terdapat dalam Kitab Upadesa hal. 46)
Intisari dari sesajinya adalah :
1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip)
2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) si jabang bayi.
3. Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap “Empat Saudara” (sedulur papat) yang menyertai kelahiran sang bayi, yaitu : darah, air, barah, dan ari-ari. (orang Jawa menyebut : kakang kawah adi ari-ari)

B. Bentuk dan praktek tingkepan
Bentuk dan praktek upacara tingkepan di beberapa daerah khususnya di daerah jawa Timur ada beberapa perbedaan tapi Yang penting di dalam upacara ini membaca Al-Quran yakni Surat Maryam dan Yusuf atau Luqman . Pembacaan Al-Qur’an mangandung makna permintaan. Surat Maryam mengandung makna, jika nanti bayi yang dilahirkan perempuan, maka bayi yang dilahirkan akan memiliki kesucian seperti kesucian Maryam. Sedangkan Surat Yusuf dimaksudkan agar jika bayi yang dilahirkan laki-laki, maka ia diharapkan akan menjadi seperti Nabi Yusuf A.S. sedangkan surat luqman dimaksudkan agar anak yang lahir nanti menjadi anak yang sholih seperti nasehat Luqman pada anaknya, selain itu juga ada semacam bacaan lain yang harus dibaca pada ritual tingkepan ini seperti dibaan atau sholawat nabi SAW dengan harapan bahwa bayi yang akan dilahirkan kelak memilki sifat-sifat luhur sebagaimana isi kandungan kitab diba’, yaitu pujian terhadap akhlakul karimah Nabi Muhammad SAW.
Prosesi upacara ini ada yang sangat sederhana dan ada pula yang sangat kompleks. Upacara tingkepan sederhana, kebanyakan biasanya dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, baik yang berlatar belakang petani maupun nelayan. Jika hamil pertama, upacara itu antara lain dengan melakukan rujakan, yang terdiri dari serabut kelapa muda (cengkir) dicampur dengan gula merah, jeruk dan ditempatkan di dalam takir yang terbuat dari daun pisang yang dililiti janur muda, biasanya dua takir. Dua takir lainnya berisi nasi uduk yang atasnya diberi bahan-bahan memasak seperti: terasi, terong dua iris, lombok plumpung merah dua biji, tauge secukupnya, mentimun dua iris, brambang dan bawang secukupnya, dua biji ikan asin (gereh), daging masak beberapa iris dan dua buah udel-udelan. Kemudian ditambah tujuh telur, bucu pitu, dalam posisi yang ditengah besar dan dikelilingi oleh enam buah bucu lainnya kecil-kecil. Dua tampah punar, polo pendem (ubi gembili, sawek tales, ganyong, telo dan sebagainya). Selain itu juga terdapat dua wadah terbuat dari bungkusan daun pisang yang terdiri dari kembang tujuh rupa, yaitu kembang melati, gading, kenanga, empon-empon, mawar dan matahari. Bunga-bunga ini disebut sebagai kembang setaman. Ditambah lagi dengan bubur putih merah dan dua kelapa muda (cengkir).
Bagi orang kaya, upacara tingkepan juga menjadi persoalan yang kompleks. Kerumitan upacara ini menandakan yang melakukan adalah kaum elite, berstatus sosial tinggi. Upacara dimulai pada pukul 4 sore, tentu saja setealah semua peralatan upacara selesai. Upacara dimulai dengan memohon doa restu atau sungkeman. Bapak dan ibu dari kedua belah pihak duduk di kursi ruang tamu dan kedua pelaku upacara berada dalam posisi membungkuk mengahadap pasangan orang tua. Tanpa sepatah kata pun dari pelaku upacara atau pelaku cukup mendekatkan muka ke lutut orang tua, dan orang tua mengelus pundak anak dan menantunya, maka acara sungkeman pun selesai. Pelaku upacara menggunakan jarik panjang dan baju khas Jawa untuk acara sungkeman. Acara pun dilanjutkan dengan ganti pakaian baru, yang terdiri dari kain kebaya yang dililitkan sebatas dada bagian atas. Kemudian dimandikan dengan kembang tujuh rupa . Mulanya yang memandikan kedua orang tua, selanjutnya mertua dan terakhir suami. Ganti kain panjang pun dilakukan sebanyak tujuh kali dan dimandikan sebanyak tujuh kali pula. Acara dilanjutkan dengan memasukan kelapa muda (cengkir) atau kendi atau telur kedalam pakaian oleh suaminya kemudian dijatuhkan (dibanting). Jika cengkir atau telur pecah menandakan bayi yang akan dilahirkan nanti adalah perempuan dan jika cengkir atau telur tadi tidak pecah maka bayi yang dilahirkan itu laki-laki. Tidak cukup sampai disitu, setelah ganti pakaian kering, acara dilanjutkan dengan dodolan dawet duwet kereweng . Kemudian malam harinya baru dilakukan upacara tingkepan dengan membaca Surat Maryam atau Yusuf dan Luqman kemudian dilanjutkan dengan dibaan. Acara pun ditutup dengan doa. Dikalangan orang kaya, yang tidak menggunakan prosesi upacara rumit seperti itu biasanya cukup mengadakan pengajian besar-besaran yang disebut sebgai pengajian walimatul hamli atau perayaan kehamilan.
Dalam pengamatan penulis, tradisi tingkepan atau yang disebut walimatul hamli yang dilakukan di daerah penulis yaitu Sidoarjo bentuk acaranya hampir sama dan sedikit mengalami perbedaan. Acara tingkepan dihadiri oleh para tetangga baik laki-laki maupun perempuan dalam acara tersebut telah disediakan nasi tumpeng, dua buah kelapa muda (cengkir), takir, beras, telor, sumbu kompor, pisang, kupat dan polo pendem. Kegiatan diawali dengan pembacaan al Quran surat Luqman atau surat Yusuf atau surat Maryam dan dilanjutkan dengan pembacaan sholawat Nabi SAW (dibaan) kemudian ceramah agama dan ditutup dengan do’a. sedangkan pemecahan kendi atau telor juga penyiraman terhadap ibu yang sedang hamil beserta suami sudah hampir tidak ada.

C. Pandangan Fiqih terhadap tradisi tingkepan
Istilah tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. Oleh karena itu tradisi tidak menjadikan jenuh untuk dikaji dan diteliti oleh berbagai pihak. Namun adanya tradisi tentu tidak lepas dari ajaran-ajaran atau faham-faham kebudayaan dan keagamaan yang berkembang pada waktu itu. Proses dan pergulatan di dalamnya pastilah ada. Tradisi tidak selamanya stagnan dan flugtuatif. Tradisi bisa saja terus berkembang dan sangat mungkin mengalami pergeseran makna dan bentuk ritual kebiasaannya, besar dan kecilnya bentuk pergeseran itu, karena tradisi diwarisi oleh generasi yang terus berkembang dalam kontek kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain bahwa, tradisi tidak hanya diwariskan tetapi ia juga dikonstruksi atau invented yang juga ditunjukan untuk menamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan masa lalu. Dan tentunya tak salah kemudian proses kesinambungan itu terwujud dalam sebuah Akulturasi, asimilasi bahkan sampai pada Islamisasi kebudayaan yang ada dalam masyarakat tertentu.
Artinya, munculnya istilah Islamisasi merupakan sebuah bukti adanya pergolakan di ranah interaksi dan proses sosialisasi kebudayaan ataupun penyampaian dalam kontek kepercayaan serta keyakinan tertentu pada masyarakat itu sendiri. Bagaimana masyarakat berpikir, bersinggungan langsung dan kemudian menerima kebudayaan serta kepercayaan itu dengan sadar dan apa adanya. Karena memang Islam hadir merupakan sebuah upaya untuk melakukan penyebaran di seluruh jagad raya ini. Tak jarang masyarakat menolak dan tidak menghiraukannnya. Namun karena Islam dengan konteks ajaran keagamaan yang membumi dan berbaur dengan keadaan kebudayaan sekitar maka ia dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat sekitar. Dan sampai sekarang pun ia senantiasa berbaur, berinteraksi langsung dengan masyarakat sehingga ia tetap eksis dilingkungan sekitarnya.
Tingkepan dengan bentuk kegiatan sebagaimana penulis kemukakan di muka maka bisa dipastikan bahwa tingkepaan itu adalah tradisi local yang bersumber dari ajaran hindu yang mengalami perkembangan dan perubahan sehingga di tiap-tiap daerah terkadang bentuk kegiatannya beragam dan sebagian telah mengalami percampuran dengan ajaran Islam.
Berbagai ragam bentuk kegiatan tingkepan itu tentunya membawa implikasi hukum yang berbeda dan harus disikapi dengan arif dan bijaksana sehingga tidak bisa digeneralisir dengan hukum yang sama. Oleh karena itu penulis akan mentafsil hukum tingkepan sebagai berikut :
1. Pandangan fikih terhadap tradisi
Kata tradisi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah adat kebiasaan yang turun temurunn yang masih dijalankan dalam masyarakat . Sedangkan menurut Sa’dy Abu jaib dalam kamus Fikihnya adat atau tradisi adalah setiap apa saja yang dibiasakan oleh manusia sehingga mudah bagi mereka untuk melakukannya tanpa mengalami kesulitan
Islam menempatkan adat atau tradisi pada tempat yang semestinya yaitu dengan memberikan apresiasi yang tinggi sehingga muncul beberapa qoidah fiqh antara lain :
العادة محكمة
الأصل في العادات الإباحة إلا ما نهى عنه الشرع
“ yang ashal di dalam adat itu adalah boleh kecuali apa yang diharamkan oleh syara” .
Juga dalam hadits Nabi SAW
فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيئ
“maka apa saja yang dilihat oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang baik maka hal itu di sisi Allah juga baik, maka apa saja yang dilihat oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang baik maka hal itu di sisi Allah juga baik” (HR Immam Ahmad Bin Hambal)
Penghargaan islam pada adat atau tradisi itu bukan berarti tanpa syarat karena dalam islam, orang tidak bisa serta merta membuat peraturan ibadah tersendiri atau memasukkan kebiasaan mereka menjadi ibadah oleh karena itu ada qoidah fiqih yang sangat terkenal
الأصل في العبادات المنع
“Yang ashal didalam ibadah adalah terlarang”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah berkata, “ Adapun adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan manusia dalam urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan hukum asal pada masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak boleh ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. Karena sesungguhnya memerintah dan melarang adalah hak prerogratif Allah. Maka ibadah harus berdasarkan perintah. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak diperintahkan di hukumi sebagai hal yang dilarang? Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh ahli hadits lainnya mengatakan, bahwa hukum asal dalam ibadah adalah tauqifi (berdasarkan dalil). Maka, ibadah tidak disyariatkan kecuali dengan ketentuan Allah, sedang jika tidak ada ketentuan dari-Nya maka pelakunya termasuk orang dalam firman Allah.
أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله
“Artinya : Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?” (Asy-Syuraa : 21)
Sedangkan hukum asal dalam masalah adat adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak boleh dilarang kecuali yang diharamkan Allah.
Yusuf Al-Qardhawi dalam Al-Halal wal Haram fil Islam berkata, “Adapun adat dan muamalah, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mengandung mafsadat dan mudharat”.
Dengan mengetahui kaidah ini , maka akan tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid’ah dengan penemuan - penemuan baru pada masa sekarang. Di mana masing-masing mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara mandiri.

2. Hukum tradisi tingkepan
Acara tingkepan adalah sebuah tradisi apabila hanya melestarikan belaka dengan tidak menyakini bahwa hal itu termasuk sesuatu yag disyariatkan dan dalam pelaksanaan acara tersebut tidak dilakukan sesuatu yang tercela atau bahkan syirik maka hal itu diperbolehkan, sebagaimana qoidah fiqih
الأصل في العادات الإباحة إلا ما نهى عنه الشرع
Imam Syathibi juga menjelaskan dalam kajian yang panjang dalam Al-I’tisham (II/73-98) yang pada bagian akhirnya disebutkan, “Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi adatnya, maka tidak ada bid’ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan sebagai ibadah atau diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi bid’ah”. Dengan demikian maka “tidak setiap yang belum ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga belum ada pada masa Khulafa Rasyidin dinamakan bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi kekuatan mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang baru dibuat oleh manusia dalam bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah ibadah dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at maka bukan bid’ah sama sekali”
Dalam pelaksanaan acara tingkepan ada beberapa adat yang mana penulis menilai hal itu tindakan tercela yang harus dihindari seperti pemecahan telur atau kendi karena hal itu adalah perbuatan sia-sia yang termasuk tabdzir sebagaimana firman Allah dalam surat al Isro : 26-27
وَآَتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)

Ibnu katsir dalam menafsiri ayat tersebut mengatakan bahwa mujahid berkata seandainya manusia menginfakkan seluruh hartanya dalam hak maka tidaklah termasuk tabdzir, tapi seandainya ia menginfakkan hartanya walaupun satu mud dalam hal yang bukan hak maka termasuk tabdzir. Dan Qotadah berkata tabdzir adalah menggunakan harta dalam kemaksiatan kepada Allah dan dalam hal yang bukan hak dan dalam kerusakan . Begitu juga imam thobari dalam tafsirnya beliau menuqil pendapat Abdulloh ibnu masud bahwa yang dimaksud tabdzir adalah
إنفاق المال في غير حقه.
Adapaun pelaksanaan tingkepan dengan hanya mengeluarkkan sedekah kepada para undangan yang didalamnya dibacakan sholawat nabi SAW dan ayat- ayat al Qur’an dengan maksud untuk memohon kepada Allah agar ibu yang mengandung dan anak yang masih dalam kandungan Ibu maka hal itu tidaklah tercela sama sekali karena banyak ayat al Qur’an maupun hadits baik yang tersurat maupun yang tersirat memerintahkan untuk berdoa kepada Allah SWT. Seperti firman Allah
                      •      •   
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami termasuk orang-orang yang bersyukur".( QS. Al A’rof: 189)
Di dalam surat al Baqoroh Allah berfirman :
                   
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. al baqarah :186)

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُم
“Dan tuhanmu berkata dan berdoalah kepadaku niscaya akan aku kabulkan bagimu” (QS. Ghofir :60)
Sebagian ulama menjadikan hadits riwayat Imam Muslim berikut sebagai penetapan pelaksanaan waktu tingkepan, bahwa manusia dalam kandungan Ibu ketika usia kandungan 4 bulan maka ditiuplah roh dan ditulis taqdirnya, dimasa itulah diadakan do’a bersama dengan tujuan agar jabang bayi yang dikandung Ibu ditaqdir oleh Allah dengaan taqdir yang baik.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ ح وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِىُّ - وَاللَّفْظُ لَهُ - حَدَّثَنَا أَبِى وَأَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ قَالُوا حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ « إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَوَالَّذِى لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا

Dan menurut pandangan penulis shadaqah dan doa adalah suatu bentuk ibadah yang aturannya sangat fleksibel, manusia bisa memilih kapan saja ia harus berdoa’ dan shadaqah dan tentunya dipilih di saat yang mereka perlukan dan hal itu bukan termasuk bid’ah, Zakariya al anshori dalam bukunya asna al matholib menjelaskan tentang sangat dianjurkannya mengeluarkan shodaqoh di saat-saat yang sangat genting karena harapan dikabulkan hajatnya sangat diharapkan ,saat kehamilan adalah bias dikatakan berada dalam situasi yang khusus bahkan Alloh SWT memberi kelonggaran bagi seorang ibu yang sedang hamil untuk tidak berpuasa maka shodaqoh yang dikeluarkan seseorang diwaktu hamil tentunya sangat dianjurkan agar doa dan harapannya dikabulkan oleh Allah.
Tetapi apabila pelakasanaan tingkepan itu di tetapkan harus pada bulan tertentu dan diyakini bahwa penentuan tersebut merupakan suatu keharusan dan bagian dari syariat islam apalagi dengan diisi acara yang dilarang oleh Islam maka hal itu adalah bid’ah yang harus dijauhi.
Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom mengatakan bahwa bid’ah adalah

عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ

Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi). Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, beliau mendefinisikan bahwa bid’ah adalah
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah).
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.”
Nabi SAW bersabda
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنِى خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ قَالَ حَدَّثَنِى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو السُّلَمِىُّ وَحُجْرُ بْنُ حُجْرٍ قَالاَ أَتَيْنَا الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ وَهُوَ مِمَّنْ نَزَلَ فِيهِ (وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ) فَسَلَّمْنَا وَقُلْنَا أَتَيْنَاكَ زَائِرِينَ وَعَائِدِينَ وَمُقْتَبِسِينَ. فَقَالَ الْعِرْبَاضُ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ « أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)


والله اعلم بالصواب










BAB III
KESIMPULAN



Dari pembahasan di atas dapat penulis simpulkan
Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni atau upacara kehamilan tujuh bulan dalam upacara ini telah banyak mengalami perubahan dan perbedaan di setiap daerah khususnya di Jawa.
Adat atau tradisi adalah setiap apa saja yang dibiasakan oleh manusia sehingga mudah bagi mereka untuk melakukannya tanpa mengalami kesulitan. Islam sangat menghargai tradisi sehingga ulama’ ushul Fiqh banyak melahirkan qaidah yang berkaitan dengan tradisi misanya “ pada dasarnya adat atau tradisi itu diperbolehkan sepanjang tidak dilarang oleh syara’
Tradisi tingkepan dalam pandangan fikih mempunyai implikasi hukum yang beragam dengan melihat konteksya. Pada dasarnya tradisi tingkepan itu mubah selama tidak melakukan praktek yang dilarang oleh agama dan tidak menyakini bahwa tradisi tingkepan itu bagian dari syariat Islam.
















DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats,Sunan Abu Dawud. Beirut: Dar al Kutub al ‘araby,tt
Abu Jaib, Sa’dy, Qomus Fiqh. Damasyqus: Dar al Fikr,1993
Ahmad bin Hambal, Musnad al Imam Ahmad bin hambal. Kairo: Muassasah qurtubah,tt
al Anshory,Zakariyah, asna> al matho>lib fi syarhi roudloth al tho>lib,juz 1 ( Beirut: dar al kitab al ilmiyah,2000
al hajja>j, Abu al Husain muslim, Shohi>h Muslim,juz 8. Beirut : dar alji>l,tt
Al ihsan, Muhammad amin, qowa>id fiqh . Karachi : Shodaf bablasrz, 1986
al Thobari, Abu Ja’far, ja>miul baya>n fi ta’wi>l al Qur’an,juz 17( tt, Muassasah alrisalah,2000
Al-Shatiby, Abu ishak Ibrahim bin Musa, al muwafaqot. Aqrabiyah: Dar Ibnu affan, 1999
Al-Shatiby, Abu ishak Ibrahim bin Musa,al I’tishom,Juz II. Syamilah
Http.//hijrah dari syirik & bid’ah, blogspot.com.
Ibn katsir, Abul fida Ismail bin Umar, tafsir al Qur’an al alkarim, juz 5( tt, Dar althayyibah,1999
Ibn Taimiyah , Taqiyuddin Abu al Abbas Ahmad bin Abdul halim, Majmu’ al Fatawa,juz 18 , tt: Dar al wafa’,2005
Ibnu Taimiyah, Al qowa>id al nu>ro>niyah al fiqhiyah. Beirut: dar al ma’rifah,1399 H
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,1988
M. Sholihin, Ritual dan tradisi islam Jawa,Yogyakarta: Narasi,2010
Mulhis qowaid al fiqhiyah, Syamilah
Munjid, Syaikh Muhammad Sholih, Fata>wa>, Syamilah
Nur Syam, Islam Pesisir . Yogyakarta : LKiS,2005
Qordlowi, Yusuf, Halal dan haram dalam islam, terj. Muammal Hamidy. Surabaya : Pt. Bina Ilmu, 1993

periwayatan hadits dengan lafadl dan makna

PERIWAYATAN HADITS DENGAN LAFADL DAN MAKNA SERTA THARIQAH TAHAMMUL WA AL ‘ADA’

( REVISI )


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Hadits






Pemakalah

SEKH SUBAKIR
NIM : FO.6.4.09.059


Dosen Pengampu
Prof. DR. H. ZAINUL ARIFIN, M.Ag.


Konsentrasi PAI / FIQIH
KELAS C

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2009


BAB I
PENDAHULUAN

Hadith atau disebut juga assunnah menurut jumhur ulama adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan atau lainnya.
Hadith adalah sumber ajaran islam yang kedua setelah al-Qur’an. Selain Allah memerintahkan umat islam agar percaya dan taat kepada Allah beliau juga memerintahkan untuk percaya dan taat kepada rasulnya yang berarti harus mentaati segala bentuk perundang-undangan yang berada di bawahnya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul SAW ini sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Allah berfirman :
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“ Katakanlah, taatilah Alah dan rasulnya, jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang–orang kafir”(QS.Ali Imran: 32)
Mengenai kedudukan Hadits dalam tertib hukum Islam, As-Suyuti dan Al-Qasimi berpendapat sebagai berikut:
1. Al-Qur’an bersifat قطعى الورود (Qath’il wurud), sedang hadits bersifat ظنى الورود (Zhannil wurud). Karenanya yang قطعى (qath’i) harus didahulukan dari pada yang ظنّى (Zhanni).
2. Hadits berfungsi sebagai penjabaran Al-Qur’an. Hal ini berarti kedudukan yang menjelaskan setingkat dibawah yang menjelaskan.
3. Ada beberapa hadits dan atsar yang menjelaskan bahwa hadits kedudukannya setelah Al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat pada dialog Rasulullah dengan Mu’adz bin Jabal. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatu perkara?” Mu’adz menjawab: “Dengan kitab Allah.” Jika tidak ada nashnya, maka dengan sunah Rasulullah”
4. Kalau Al-Qur’an sebagai wahyu dan berasal dari sang Pencipta, maka hadits berasal dari hamba dan utusanNya. Karenanya sudah selayaknya jika yang berasal dari sang Pencipta lebih tinggi kedudukannya dari pada yang berasal dari hamba utusanNya.
Hadis sebagai sumber ajaran Islam, sejarah perjalannya tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjalanan islam itu sendiri. Tidak sebagaimana al-Qur’an, dalam penerimaan hadith dari Nabi SAW banyak mengandalkan hafalan para sahabat, dan hanya sebagian saja yang ditulis oleh mereka. Penulisan itupun hanya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian hadith-hadith yang ada para sahabat kemudian diterima oleh para tabi’in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbeda, sebab ada yang meriwayatkan sesuai atau sama benar dengan lafadz yang diterima dari Nabi SAW ( yang disebut dengan periwayatan bi al-lafdzi ) dan ada yang hanya sesuai maknanya sedang redaksinya tidak sama ( yang disebut dengan periwayatan bi al-ma’na). Dalam hal periwayatan hadith ini juga tidak bisa dielakkan tentang cara-cara penerimaan dan penyampaian hadith sehingga memunculkan redaksi hadith yang bermacam-macam.
Munculnya cara yang bermacam-macam dalam periwayatan hadis ini tentunya membawa implikasi yang berbeda tentang hukum periwayatannya. Dalam makalah ini penulis memaparkan cara – cara periwayatan hadits berikut hukum periwayatannya serta syarat-syarat orang yang menyampaikan hadith




























BAB II
PEMBAHASAN

A. Periwayatan Lafdzi
Periwayatan lafdzi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis sama yang diwurudkan Rasul SAW. Periwayatan hadis dengan cara ini adalah cara yang sebaik-baiknya karena cara ini lebih memenuhi maksud tujuan hadis tersebut. Kebanyakan para sahabat nabi SAW. Pada dasarnya mengharuskan periwayatan hadis dengan cara ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Nabi SAW. Bukan menurut redaksi mereka. Bahkan seperti dikatakan Ajjaj Khatib, sebenarnya para sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafdhi bukan dengan ma’nawi .
Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai berikut:
1. سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Saya mendengar Rasulullah saw)
Contonya:
عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain, dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim)
2. حدّثنى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Menceritakan kepadaku Rasulullah saw)
Contohnya:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِى زَائِدَةَ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ شَيْبَةَ عَنْ طَلْقِ بْنِ حَبِيبٍ عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَالاِسْتِنْشَاقُ بِالْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ »
“telah bercerita bercerita kepadaku yahya ibn ma’in telah bercerita kepadaku waki’ dari zakariya ibn Abi zaidah dari mushab ibn shaibah dari thalqi ibn habib dari zubair dari ‘aisyah ia berkata : nabi SAW bersabda : sepuluh hal termasuk bersuci yaitu : mencukur brengos, menipiskan jenggot,siwak ishtinshaq, memotong kuku, membersihkan kotoran di ujung jari, mencabut bulu kketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ ( HR Muslim)
3. أخبرنى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Mengkhabarkan kepadaku Rasulullah saw)
4. رأيت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Saya melihat Rasulullah saw berbuat)
Contohnya:
عن عبّاس بن ربيع قال: رأيت عمربن الخطّاب رضي الله عنه يقبّل الحجر “يعنى الأسود” ويقول
إِنِّى لاَءَ عْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَتَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad dan ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang menggunakan lafadz-lafadz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi saw dalam meriwayatkan hadits. Oleh karenanya para ulama menetapkan hadits yang diterima dengan cara itu menjadi hujjah, dengan tidak ada khilaf. Hal ini sebagaimana yang di katakan Umar bin Khattab

قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه من سمع حديثا فحدث به كما سمع فقد سلم
“ Umar bin Khattab berkata : barang siapa mendengar suatu hadits kemudian ia membacakan hadits tersebut sesuai dengan ( lafdz) yang ia dengar maka ia selamat”

Di zaman para sahabat, mereka tidak meriwayatkan hadis kecuali dengan cara ini, utamanya hadis–hadis yang berkenaan bacaan taabbud dan jawami’ul kalim. Hadith-hadith yang berkenaan dengan bacaan–bacaan ta’abbudi seperti adzan, tasyahud, takbir, salam, doa dan lain-lain semua itu para sahabat tidak ada yang meriwayatkan dengan makna tapi mereka meriwayatkan dengan lafdhi kar na bacaan-bacaan tersebut adalah tauqifi ( ketetapan dari Rasul yang tidak boleh ditambah) karena bacaan-bacaan tersebut adalah bacaan-bacan yang bernilai ibadah sedangkan bacan yang bernilai ibadah itu adalah haj prerogratif Allah dan rasulnya yang ana manusia biasa tidak bisa begitu saja membuat ucapan-ucapan atau lafadz kemudian dimasukkan dalam rangkaian ibadah. Begitu juga hadish-hadis jawa>mi’ul kalim yaitu hadith yang lafadlnya singkat tapi mempunyai makna yang sangat dalam dan luas. hadis – hadith ini harus diriwayatkan dengan lafdhi tidak dengan yang lain, karena orang-orang sekalipun ahli sastra arab tidak akan mampu untuk menyamai kata-kata tersebut, dan itu hanya dimiliki oleh Nabi SAW.
Contoh hadith jawami’ul kalim
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق عن معمر عن جابر عن عكرمة عن بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا ضرر ولا ضرار…… (رواه احمد )
“Telah bercerita kepada kami Abdullah dan telah bercerita kepadaku Abdu al-Razaq dari Ma’mar dari jabir dari ‘ikrimah dari Ibn Abbas ia berkata: Rasulullah bersabda tidak boleh memayahkan diri dan memayahkan orang lain…..”(HR.Ahmad)

Para ulama’ hadis juga sangat berhati-hati apabila meriwayatkan hadis yang berlainan kata katanya tetapi maksudnya sama. Apabila mereka menerima hadis dari beberapa orang guru yang susunan katanya berlainan sedang maknanya sama mereka biasa berkata :
حدثنا فلان وفلان واللفظ لفلان
“hadits ini telah diceritakan kepada saya oleh fulan dan fulan sedang matannya yang saya sampaikan menurut yang diriwayatkan fulan”
Contoh :

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ: - "إِنَّ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ, مِنْ أَثَرِ اَلْوُضُوءِ, فَمَنْ اِسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ. - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم ٍ
“ Dari Abu Hurairoh ra. Ia berkata saya mendengar Rasulullah bersabda : sesungguhnya umatkau akan dating pada hari kiamat dengan wajah yang bersinar karena bekas wudlu maka barang siapa yang ingin memperpanjang masa bersinarnya maka hendaklah ia melalkukan ( kesempurnaan wudlu)( HR. Bukhari dan muslim sedangkan lafadz hadits menurut riwayat imam Muslim)

B. Periwayatan Ma’nawi
Periwayatan ma’nawi adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja, sedangkan redaksinya mereka susun sendiri, tidak persis sebagaimana yang diucapkan Nabi SAW.
Ada beberapa hal yang perlu dipahami mengapa hadis ada yang diriwayatkan dengan makna, antara lain ;
1. Secara kuantitas jumlah hadits sangat banyak berbeda dengan ayat – ayat al-Qur’an
2. Hadits bukan hanya berupa perkataan Nabi SAW. Tapi juga berupa perbuatan dan ketetapan Nabi SAW. Bahkan ada yang memasukkan ahwal dan himmahnya. Sehingga penerimaan hadits tidak hanya berupa rangkaian kata-kata yang diterimanya langsung dari Nabi SAW melainkan juga perbuatan Nabi SAW yang disaksikan dan diikutinya kemudian disampaikan oleh mereka melalui perbuatan dengan redaksi perkataan mereka sendiri.
3. Daya hafal para sahabat dan kedekatan mereka dengan Nabi SAW tidak sama, sehingga ada yang dengan muda menghafalnya secara utuh tetapi ada juga yang hanya mampu menjaga makna dan tujuan hadis tersebut.
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis dengan maknanya . sebagaian ahli hadis, ahli ushul , dan ahli fikih mengharuskan periwayatan hadis sebagaimana yang mereka terima tidak ada penambahan atau pengurangan dengan kata lain periwayatan itu harus dengan lafdhi tidak dengan maknawi .
Jumhur ulama berpendapat lain yaitu membolehkan seseorang meriwayatkan hadits dengan makna atau pengertiannya tidak dengan lafadz aslinya apabila terpenuhi syarat – syarat berikut ini :
1. Menguasai bahasa arab dan tahu arah / khithab suatu perkataan
2. Berpandangan luas tentang fikih
3. Mengetahui ilmu ma’ani
4. Mengetahui hal – hal yang bisa merusak makna dan apa apa yang tidak, sehingga akan terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadits tersebut.
Ulama yang memperbolehkan periwayatan dengan makna ini antara lain berhujjah dengan hadits marfu’ dari Abdullah ibn Sulaiman bin Akmiyah al-laithi ia berkata
قلت يا رسول الله اني اسمع منك الحديث لا استطيع ان اؤديه كما اسمع منك يزيد حرفا او ينقص حرفا , فقال اذا لم تحلوا حراما ولم تحرموا حلالا واصبتم المعني فلا باءس (رواه البيهقي)
“ saya berkata wahai rasulullah sesungguhnya saya telah mendengar darimu seuatu hadits tapi saya tidak mampu untuk menyampaikan sebaimana yang saya dengar darimu (mingkin) bertambah satu huruf atau berkurang satu huruf ,maka Nabi SAW bersabda : asal kalian tidak menghalalkna yang haram dan tidak mengharamkan yang halal maka tidak apa-apa” (HR. Imam Baihaqi)
Hukum meriwayatkan hadis dengan makna menurut penulis harus dilihat macam hadis tersebut, kalau hadis itu berupa perbuatan Nabi SAW atau ketetapan nabi maka diperbolehkan sesuai dengan syarat – syarat perawi secara umum. Tapi apabila hadits tersebut berupa perkataan maka penulis cenderung mengikuti pendapat jumhur ulama yaitu meriwatkan hadith harus dengan lafdznya sebagaimana yang disampaikan oleh rasulullah kepada para sahabat. Meriwayatkan hadis dengan makna itu tentunya diperbolehkan ketika hadits-hadits belum terkodifikasikan. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun seperti sekarang maka tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadl yang berbeda meskipun maknanya sama.
C. Tahammul al-hadith
Methode atau cara penerimaan riwayat (hadits) sering disebut dengan tahammul al-hadith.
Pada masa Nabi SAW dan masa sahabat cara menerima hadis itu ada tiga cara, yaitu :
1. Dengan mendengar sendiri hadith – hadith tersebut dari Nabi SAW
2. Dengan melihat sendiri perbuatan – perbuatan Nabi SAW dalam kehidupan sehari-hari
3. Mendengar kata-kata Nabi atau melihat perbuatan Nabi SAW itu dari sahabat-sahabat lain, karena tidak mendapat secara langsung dari Nabi SAW.
Adapun pada masa tabiin dan seterusnya, sebagaimana dijelaslan oleh Mahmud Thalhan , Para ulama membagi cara penerimaan hadis itu ada delapan cara yaitu :
1. Al- Sima’
yaitu mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik didektekan atau tidak, dan baik dari hafalan gurunya atau dari tulisannya.
Menurut jumhur ulama hadits cara ini adalah cara yang terbaik karena akan terhindar dari kesalahan. Tetapi menurut sebagian ulama cara yang terbaik lagi adalah bila ketika mendengar hadits tersebut seorang murid langsung mencatatnya. Hal ini sangat logis karena ketika syeh sibuk menyampaikan hadits, seorang murid langsung mencatatnya sehingga kemungkinan lupa sangat minim sekali. Adapun lafadz-lafadz yang biasa dipergunakan oleh perawi hadits dengan cara sima’i ini antara lain adalah :
خبرنى ia telah bercerita kepadaku
حدثني ia telah bercerita kepadaku
سمعت.......... saya telah mendengar ….

2. Al-qira’ah ‘ala’ al-syaikhi
ulama hadith menyebut cara ini dengan ‘arad. Menerima hadith dengan cara ini adalah sesorang membaca sebuah hadith di hadapan seorang guru, baik ia sendiri membacanya atau orang lain membaca sedangkan ia mendengarkan bacaan tersebut. Hukum mendapatkaan hadits dengan cara ini menurut jumhur ulama sah – sah saja. Hanya saja imam Ahmad bin Hambal mensyaratkan sesorang yang sedang membaca hadits tersebut mengetahui dan memahami hadits tersebut. Sedang imam Haromain mensyaratkan pada seorang guru atau syeh yang sedang mendengar bacaan hadits tersebut tidak diam saja tapi apabila ia mendengar bacaan hadith yang salah maka ia langsung memperingatkannya dan menunjukkan bacaan yang benar. Sebenarnya apabila kita teliti cara menerima hadit dengan cara ini sebenarnaya sama dengan cara sima’i sehingga hukumnya sama – sama boleh saja dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh imam Ahmad dan Imam Haromain.
Lafadz-lafadz yang dipergunakan untuk menyampaikan hadith yang berdasarkan methode ini adalah :
قرات عليه.... ( saya telah memmbaca hadits dihadapan…..)
قرئ على فلان وانا اسمع.... ( seseorang telah membaca hadits kepada Fulan dan saya memndengar…)
حدثنا قراءة عليه.... ( ia telah bercerita kepadaku dengan cara membacakan kepada ….)

3. ijazah
yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits dari padanya, atau kitab-kitabnya.
Cara pemberian ijaazah ini banyak macamnya, antara lain :

a. seorang syekh memberi ijazah untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada sesesorang yang tertentu, misalnya : saya memberi ijazah kepadamu kitab shoheh bukhori.
Bentuk ijazah seperti ini adalah yang paling tinggi nilainya. Dan jumhur ulama memperbolehkan periwayatan hadits dengan bentuk seperti tersebut.
b. Seorang syekh memberikan ijazah untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada orang yang tidak tertentu, misalnya : saya memberikan ijazah kepadamu apa-apa yang telah aku dengar.
c. Seorang syekh memberikan ijazah untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu pula, misalnya : aku mengijazahkan kepada kaum muslimin seluruh apa yang aku dengar.
d. Seorang syeh mengijazahkan Sesuatu yang tidak jelas kepada orang yang yang tidak jelas, misalnya : saya mengijazahkan kepadamu kitab sunan, sedangkan dia hanya meriwayatkan beberapa hadith saja dari kitab tersebut. Atau seorang syekh mengatakan saya member ijazah kepada Ahmad sedangkan di situ banyak yang bernama Ahmad.
e. Ijazah kepada seseorang yang tidak ada, misalnya : seeorang guru berkata: saya memberi ijazah kepada anakmu yang masih ada dalam kandunganmu.

Meriwayatkan hadit denggan cara sebagaimana pada poin (a) yaitu memberikan ijazah kepada seorang yang memang tertentu kepa hadits tertentu ini boleh karena bentuk ijaza ini sangat jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Tetapi meriwayatkan hadith dengan keempat cara ijazah yang terahir ini diperselisihkan oleh ulama hadith, Kebanyakan muhadditsin tidak memperkenankan meriwayatkan hadith dengan cara ini.

4. Munawalah
Yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.
Munawalah itu mempunyai dua macam,yaitu :
a. Munawalah disertai dengan ijazah, misalnya seorang guru setelah memberikan naskah kepada muridnya kemudian ia berkata : riwayatkanlah dari saya ini.
Meriwayatkan hadits dengan cara ini masih diperbolehkan dan merupakan derajat yang paling rendah dalam kategori periwayatan secara sima’i
b. Munawalah tanpa disertai ijazah, misalnya : seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridya dan hanya berkata : ini adalah hadits yang telah aku dengar.
Menurut Ibnu Sholah dan imam nawawi, meriwayatkan dengan cara seperti ini dianggap tidak sah.

5. Mukatabah
Yaitu seorang guru menulis sendiri apa yang telah diriwayatkannya atau menyuruh orang lain untuk menulis hadits kepada orang yang ada dihadapannya atau kepada orang lain.
Mukatabah ini juga ada dua macam, ada yang disertai dengan ijazah dan ada yang tidak disertai dengan ijazah. hukum meriwayatkan hadits dengan cara mukatabah yang disertai dengan ijazah ini adalah sah dan sama kuatnya dengan munawalah yang disertai ijazah. Adapun mukatabah yang tidak disertai ijazah ini masih diperselisihkan dikalangan ulama hadits . menurut sebagian ulama seperti Imam Mawardi, al-Amidy, Ibnul Qattan meriwayatkan hadits dengan cara mukatabah tanpa disertai ijazah ini tidak sah . Tetapi sebagian besar ulama hadits baik angkatan mutaqoddimun maupun mutaakhirun berpendapat bahwa periwayatan hadits dengan cara mukatabah tanpa disertai ijazah ini tetap sah.
Lafadz – lafadz yang dipergunakan untuk menyampaikan hadits dengan cara mukatabah ini ialah :

حدثني فلان كتابة
اخبرني فلان كتابة
كتب الي فلان

6. I’lam
Yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seseorang dengan tidak menyuruh agar si murid meriwayatkannnya.
Lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadits yang diterima berdasarkan i’lam ini adalah

اعلمني فلان قال حدثنا ......
Menurut sebagian mutaqoddimin seperti ibnu juraij memperbolehkan menyampaikan hadits seperti ini , karena pemberitahuan seorang guru kepada muridnya dengan memperdengarkannya hal itu menunjukkan ridlonya seorang guru kepada muridnya untuk menyampaikan hadits tersebut. Tetapi sebagian ulama’ mengharuskan adanya ijazah dari gurunya.

7. Wasiyat
Yaitu pesan sesorang sebelum bepergian atau wafatnya dengan sebuah kitab supaya diriwayatkannya.
Meurut jumhur ulama tidak diperkenankan meriwayatkan hadits yang diperoleh dengan cara ini kecuali apabila orang yang diwasiati itu diberi ijazah .
Lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadits berdasar wasiyat ini seperti :

اوصى الي فلان بكذا...

8. Wijadah
Yaitu seseorang menemukan tulisan hadits orang lain dengan tanpa mendengar, ijazah atau munawalah. Hukum meriwayatkan hadits dengan cara ini masih diperselisihkan di kalangan ulama hadits. Para muhadditsin besar dan ulama – ulama malikiyah tidak memperkenankan . Ajjaj memperbolehkan periwayatan dengan cara ini dengan syarat bahwa hadits yang ditemukannya tersebut betul-betul dinisbatkan kepada seseorang tertentu yang diketahuinya dengan dikuatkan oleh ahli habar atau kitab tersebut sudah terkenal bahwa ia adalah dinisbatkan kepada si fulan misalnya.
Periwayatan hadith dengan cara wijadah ini pada masa mutaqoddimin sangat jarang sekali ditemukan karena mereka sangat menghormati ahli ilmu dan sangat mengutamakan periwayatan dengan musafahah dengan sima’i atau qiroah ‘ala al-shaihi .
C. ‘Ada al-Hadith
Yaitu menyampaikan atau meriwayatkan hadith kepada orang lain.
Semua ulama hadith mensyaratkan untuk orang yang dapat menyampaikan atau meriwayatkan hadith sehingga hadithnya dapat diterima sebagai hujjah. Hal itu karena apa yang ia riwayatkan begitu sangat penting karena menjadi pedoman hidup kaum muslimin. Syarat – syarat tersebut adalah :
1. Beragama islam
Riwayat orang kafir tidak dapat diterima walaupun dia bukan orang yang suka dusta. Hal itu karena Allah SWT menyuruh kita untuk berhati- hati menerima berita yang disampaikan oleh orang fasik apalagi orang kafir, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Hujurot : 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات : 6)
2. Baligh
Yang dikehendaki dengan baligh disini adalah sampai umur dan berakal, karena dengan pertimbangan seseorang yang sudah balig maka kemampuan akalnya sudah mampu membedakan yang baik dan buruk dan mengertti akn akibat dari perbuatannya. Anak yang belum baligh riwayatnya tidak bisa diterima karena mereka kemungkinan berbohong sebab mereka tidak tahu akibat dari berbohong . Tidak diterimanya riwayat anak yang belum baligh ini berdasarkan hadith Nabi SAW.
حَدَّثَنَا ابْنُ السَّرْحِ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مِهْرَانَ عَنْ أَبِى ظَبْيَانَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مُرَّ عَلَى عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ رضى الله عنه بِمَعْنَى عُثْمَانَ. قَالَ أَوَمَا تَذْكُرُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يُفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ». (رواه ابو داود )
Tetapi jumhur ulama berpendapat bahwa periwayatan anak kecil itu bisa diterima dengan syarat ketika menyampaikan hadith tersebut ia dalam keadaan sudah dewasa, hal itu karena banyak sahabat Nabi SAW seperti Hasan, Husein, Ibnu al-Abbas dan lain-lain yang menerima hadits ketika mereka masih kanak-kanak .
3. ‘Adalah
Yaitu suatu sifat yang melekat di dalam jiwa yang mana orang yang mempunyai sifat adalah akan selalu bertanqwa dan muru’ah (mampu menjaga diri dari perbuatan yang tercela dan kurang pantas )
Termasuk adalah orang yang menjauhi dosa – dosa besear dan sebagian dosa – dosa kecil, dan menjauhi hal-kal yang mubah tetapi perbuatan tersebut dianggap kurang pantas seperti makan sambil berjalan, kencing di jalan walaupun kemaluannya tidak terlihat orang lain, tertawa terbahak-bahak,dan lain-lain.
4. Dlabit
Yaitu kekuatan ingatan seorang perawi terhadap apa yang didengarnya dan memahaminya dengan baik, serta dihafalkannya sejak dari ia menerima sampai kepada ia menceritakannya kepada orang lain.
Cara untuk mengetahui kedlabitan seseorang adalah dengan mengecek riwayatnya dengan dengan riwayat orang lain, jika riwayatnya bersesuaian walaupun dalam maknanya maka bisa diterima tetapi kalau riwayatnya banyak yang tidak sesuai dengan riwayat orang lain maka riwayatnya tidak bisa diterima.
Adapun lafad yang digunakan untuk menyampaikan hadits sebenarnya telah diketahui dimuka dalam pembahasan tahammul al-hadith . Perbedaan cara perawi menerima hadith dari gurunya maka berbeda pula lafadl yang digunakan untuk mmenyampaikan hadith kepada orang lalin. Perbedaan lafdz dalam menyampaikan hadits itu mengakibatkan perbedan nilai suatu hadits, misalnya suatu hadits yang diriwayatkan dengan memakai lafadz sama’ lebih meyakinkan kepada kita bahwa ia menerima sendiri dari guru yang menyampakan hadith, hal ini tentunya berbeda dengan hadith yang diriwayatkan dengan memakai sighat ‘an’annah ( ‘an = dari, ‘anna = sesungguhnya) memberi kesimpulan adanya kemungkinan rawi-rawi tersebut mendengar sendiri langsung dari gurunya atau melalui dari orang lain.
Lafadz-lafdz untuk mmenyampikan hadith itu, dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :
a. Lafadz meriwayatkan hadith bagi rawi yang mendengar langsung dari gurunya. lafadz – lafad tersebut tersusun sebagi berikut :
سمعت, سمعنا
حدثني , حدثنا
اخبرني ,اخبرنا
قال لي ...
b. Lafadz riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri langsung dari gurunya atau tidak mendengar sendiri.
Lafadz – lafadz yang dipakai adalah :
روي
حكي
عن
ان ...


Selain syarat-syarat tersebut di atas yang harus dipenuhi oleh seorang yag menyampaikan hadits, maka berikut ini tidak kalah pentingnya untuk dimiliki oleh orang yang menyampaikan hadits yaitu seorang yang meyampakan hadits harus mempunyai tata kerama atau adab-adab tertentu sebagai mana disampaikan oleh syekh Zainudin Abdu al-Rahim ibn Husain al-‘Iraqi dalam bukunya alfiyah al’iraqi fi ulumi al-hadith :
Adab orang yang menyampaikan hadits :
1. Memperbaiki niat dalam menyampikan hadits
2. Berwudlu dulu
3. Mandi dan memakai wangi-wangian
4. Menjelaskan suara agar yang mendengar menjadi jelas
5. Duduk dengan sopan
6. Tidak menyampaikan hadits dengan tergesa-gesa
7. Tidak menyampaikan hadits bila dimajlis tersebut ada yang lebih berhak
8. Menghadap pada orang yang akan diberi hadits
9. Menahan diri untuk tidak menyampaikan hadit pada orang yang dikhawatirkan tidak bisa menjaganya
10. Sebelum dan sesudah meyampaikan hadits hendaknya membaca hamdalah, sholawat dan salam,dll.



























BAB III
PENUTUP

Hadith adalah segala sesuatu yan disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Di dalam meriwayatkan hadits baik para sahabat maupun tabiin ada yang meriwayatkan hadith dengan lafadz yang sama persis sebagaiimana yang disamapikan oleh Rasulullah SAW dan ada yang meriwayatkan dengan maknanya saja. Dalam menyikapi kedua jenis periwayatan tersebut para ulama berbeda pendapat, ada yang memperbolehkan dan ada yang menolak .
Metode atau cara menerima hadith ada delapan yaitu :
1. Al-sima’
2. Al-qiro’ah ‘ala al-syaikhi
3. Al-ijazah
4. Al-munawalah
5. Al-kitabah
6. Al-I’lam
7. Al-wasiat
8. Al- wijadah
Riwayat seorang perawi tidak begitu saja diterima periwayatannya tapi perlu dilihat apa sudah memenuhi syarat atau belum, adapun syarat seorang perawi adalah :
1. Islam
2. Baligh
3. ‘Adalah
4. dlabith
lafadz yang digunakan oleh para perawi hadith itu ada banyak macamnya , namun bila dikelompokkan ada dua, yaitu :
1. lafadz meriwayatkan hadith bagi perawi yang mendengar langsung dari gurunya
2. lafadz meriwayatkan hadith bagi perawi yang mungkin mendengar langsung dari gurunya atau tidak mendengar sendiri.





DAFTAR PUSTAKA

Abidin,Zainal.Musthalahul Hadits. Bandung: Fa. Setia Karya,1984.
Abu Dawud, sunan Abu Dawud,juz 4 , Dar al-kutub al arabi,tt.
al-Asqolani,Ibn Hajar. bulughu al -marom. Surabaya : al-Hidayah,1990.
Al-Baghdadi,Khatib. Kita>bu al-Kifa>yah. Beirut : Da>r al-kutub al-ilmiah,1988.
Hambal,Ahmad Ibn. musnad ahmad ibn Hambal,juz I, (maktabah Shamilah)
Al-‘Iraqi,Abu al-Fad}il abdu al-Rahim ibn al-Husain. Fathu al- Mughith. Beirut : Da>r al-kutub al-ilmiah,1988.
¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬------------------------------------------------------------- . alfiyah al-iraqi (maktabah shamilah)
Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushul al-hadith ‘Ulumuhu wa mustala>huhu.Beirut, Dar al-Fikr. 1989.
Rahman,Fathur.Ikhtishar Musthalahul Hadits. Bandung: PT. al Maarif,1987.
Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi. Sejarah dan pengantar ilmu hadits. Jakarta: Bulan bintang, 1980.
-----------------------------------------------------------. Pokok – pokok ilmu dirayah hadits, Jilid I dan II. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
At-Tirmisy, Muhammad Mahfudz ibn Abdullah. Manhaj dhawi al-Naz}ar,Sankapura: al-haramain,1974.
Al-Talhan, Mahmud. Taisir Mustalahi al-Hadith. Beirut: Dar al-Fikr,tt.
Wijaya, Utang Ranu. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama,1998.