Senin, 24 Juni 2013

tradisi tingkepan

ABSTRAK

Makalah : tradisi tingkepan dalam pandangan fiqih
Kata kunci :tradisi, tingkepan, bentuk-bentuk tingkepan, pandangan fiqih terhadap
tradisi tingkepan

Tradisi adalah setiap apa saja yang dibiasakan oleh manusia sehingga mudah bagi mereka untuk melakukannya tanpa mengalami kesulitan. Istilah tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. tradisi tidak hanya diwariskan tetapi ia juga dikonstruksi atau invented yang juga ditunjukan untuk menamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan masa lalu.
Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni atau upacara kehamilan tujuh bulan. Upacara tingkepan adalah upacara utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama, sedangkan kehamilan kedua, ketiga dan seterusnya hanya dengan brokohan saja atau upacara sederhana. Acara tingkepan merupakan tradisi lokal masyarakat jawa yang bersumber dari ajaran Hindu. Bentuk dan praktek upacara tingkepan di beberapa daerah khususnya di daerah jawa Timur ada beberapa perbedaan tapi Yang penting di dalam upacara ini membaca Al-Quran yakni Surat Maryam dan Yusuf atau Luqman .
Islam menempatkan adat atau tradisi pada tempat yang semestinya yaitu dengan memberikan apresiasi yang tinggi sehingga muncul beberapa qoidah fiqh, seperti al ‘a>da>t muhakkama>t, al ashlu fi al ‘a>dat al iba>hatu illa> ma> naha> anhu al shar’u. Penghargaan islam pada adat atau tradisi itu bukan berarti tanpa syarat karena dalam islam, orang tidak bisa serta merta membuat peraturan ibadah tersendiri atau memasukkan kebiasaan mereka menjadi ibadah.
Dalam pelaksanaan acara tingkepan ada beberapa adat yang mana penulis menilai hal itu tindakan tercela yang harus dihindari seperti pemecahan telur atau kendi karena hal itu adalah perbuatan sia-sia yang termasuk tabdzir. Adapaun pelaksanaan tingkepan dengan hanya mengeluarkkan sedekah kepada para undangan yang didalamnya dibacakan sholawat nabi SAW dan ayat- ayat al Qur’an dengan maksud untuk memohon kepada Allah agar ibu yang mengandung dan anak yang masih dalam kandungan Ibu maka hal itu tidaklah tercela sama sekali karena banyak ayat al Qur’an maupun hadits baik yang tersurat maupun yang tersirat memerintahkan untuk berdoa kepada Allah SWT. Shadaqah dan doa adalah suatu bentuk ibadah yang aturannya sangat fleksibel, manusia bisa memilih kapan saja ia harus berdoa’ dan shadaqah dan tentunya dipilih di saat yang mereka perlukan dan hal itu bukan termasuk bid’ah, bahkan sangat dianjurkannya mengeluarkan shodaqoh di saat-saat yang sangat genting karena harapan dikabulkan hajatnya sangat diharapkanTetapi apabila pelakasanaan tingkepan itu di tetapkan harus pada bulan tertentu dan diyakini bahwa penentuan tersebut merupakan suatu keharusan dan bagian dari syariat islam apalagi dengan diisi acara yang dilarang oleh Islam maka hal itu adalah bid’ah yang harus dijauhi.
BAB I
PENDAHULUAN

Jika kita memperhatikan amaliyah masyarakat di sekitar kita khususnya masyarakat Jawa, banyak di antara mereka yang melakukan amaliyah amaliyah yang perlu dipertanyakan dasar hukumnya. Banyak amaliyah - amaliyah tersebut ternyata tidak ditemukan secara jelas dasar hukum dalam teks al Qur’an maupun al Hadits, sedangkan sebuah keniscayaan hal itu kerap kali terjadi bahkan menjadi sebuah tradisi yang terus berlangsung di tengah - tengah masyarakat kita. Tentu hal itu memerlukan kajian dan jawaban hukum serta solusi yang tepat.
Wali songo dalam menyebarkan agama islam di Jawa ketika mereka dihadapkan pada sebuah kenyataan yaitu penduduk lokal telah bergumul dengan tradisi - tradisi baik yang diwarisi oleh agama Hindu dan Budha maupun yang terbentuk dari budaya asli mereka. Para wali songo tidaklah menolak ataupun menentang secara langsung adat istiadat atau tradisi mereka, namun malah menjadikan tradisi tersebut sebagai sarana dakwah dengan diwarnai nilai-nilai yang islami.
Persoalannya, mampukah kita menjadikan adat sebagai lahan dakwah ? jika tidak, akankah kita membiarkan begitu saja tanpa ada solusinya, dan sanggupkah kita menerima dosa karena telah meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar ?
Salah satu tradisi khususnya pada masyarakat jawa adalah tingkepan yaitu upacara kehamilan yang biasa dilakukan pada saat usia kehamilan mencapai usia 3 bulan atau 4 bulan atau 7 bulan. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan membahas masalah – masalah sebagai berikut :
a. Apa tingkepan itu ?
b. Bagaimana bentuk dan praktek tingkepan ?
c. Bagaiman pandangan fikih terhadap tingkepan ?







BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tingkepan
Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni atau upacara kehamilan tujuh bulan. Upacara tingkepan adalah upacara utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama, sedangkan kehamilan kedua, ketiga dan seterusnya hanya dengan brokohan saja atau upacara sederhana.
Dalam pengamatan penulis yang juga seringkali mengikuti acara tingkepan di daerah tempat tinggal penulis yaitu di daerah Sidoarjo, acara tingkepan yang mana di daerah penulis sering di sebut dengan Walimatul Hamli , tingkepan adalah sebuah tasyakuran kehamilan yang biasa dilaksanakan pada saat usia kehamilan mencapai 3 bulan, 4 bulan atau 7 bulan. Dalam acara tersebut tetangga sekitar baik laki-laki maupun perempuan diundang, acara pertama dibacakan ayat suci al Qur’an misalnya surat yusuf, surat maryam, surat Luqman kemudian dilanjutkan dengan pembacaan sholawat nabi kemudian ceramah agama dan ditutup dengan doa dan terkadang ada sebagian masyarakat yang mengadakan khotmil Qur’an yang dimulai sejak pagi hari.
Di setiap daerah tentunya berbeda – beda bentuk acaranya sesuai dengan adat istiadat di daerah tersebut. Jika sang istri hamil usia 120 hari ( 4 bulan ) maka diadakan ritual yang disebut dengan upacara ngapeti atau ngupati, disebut ngapeti karena usia kandungan telah mencapai empat bulan dan disebut ngupati karena dalam upacara tersebut ada hidangan yang berupa kupat.
Referensi tentang tingkepan tidak penulis temukan dalam teks al Qur’an dan hadits ataupun buku-buku fikih karangan mujtahid seperti Imam syafii ataupun lainnya, sehingga penulis memastikan bahwa acara tingkepan merupakan tradisi lokal masyarakat jawa yang bersumber dari ajaran Hindu.
Telonan, Mitoni dan Tingkepan yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarkat adalah tradisi masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut Garba Wedana (garba : perut, Wedana : sedang mengandung). Selama bayi dalam kandungan dibuatkan tumpeng selamatan Telonan, Mitoni (terdapat dalam Kitab Upadesa hal. 46)
Intisari dari sesajinya adalah :
1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip)
2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) si jabang bayi.
3. Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap “Empat Saudara” (sedulur papat) yang menyertai kelahiran sang bayi, yaitu : darah, air, barah, dan ari-ari. (orang Jawa menyebut : kakang kawah adi ari-ari)

B. Bentuk dan praktek tingkepan
Bentuk dan praktek upacara tingkepan di beberapa daerah khususnya di daerah jawa Timur ada beberapa perbedaan tapi Yang penting di dalam upacara ini membaca Al-Quran yakni Surat Maryam dan Yusuf atau Luqman . Pembacaan Al-Qur’an mangandung makna permintaan. Surat Maryam mengandung makna, jika nanti bayi yang dilahirkan perempuan, maka bayi yang dilahirkan akan memiliki kesucian seperti kesucian Maryam. Sedangkan Surat Yusuf dimaksudkan agar jika bayi yang dilahirkan laki-laki, maka ia diharapkan akan menjadi seperti Nabi Yusuf A.S. sedangkan surat luqman dimaksudkan agar anak yang lahir nanti menjadi anak yang sholih seperti nasehat Luqman pada anaknya, selain itu juga ada semacam bacaan lain yang harus dibaca pada ritual tingkepan ini seperti dibaan atau sholawat nabi SAW dengan harapan bahwa bayi yang akan dilahirkan kelak memilki sifat-sifat luhur sebagaimana isi kandungan kitab diba’, yaitu pujian terhadap akhlakul karimah Nabi Muhammad SAW.
Prosesi upacara ini ada yang sangat sederhana dan ada pula yang sangat kompleks. Upacara tingkepan sederhana, kebanyakan biasanya dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, baik yang berlatar belakang petani maupun nelayan. Jika hamil pertama, upacara itu antara lain dengan melakukan rujakan, yang terdiri dari serabut kelapa muda (cengkir) dicampur dengan gula merah, jeruk dan ditempatkan di dalam takir yang terbuat dari daun pisang yang dililiti janur muda, biasanya dua takir. Dua takir lainnya berisi nasi uduk yang atasnya diberi bahan-bahan memasak seperti: terasi, terong dua iris, lombok plumpung merah dua biji, tauge secukupnya, mentimun dua iris, brambang dan bawang secukupnya, dua biji ikan asin (gereh), daging masak beberapa iris dan dua buah udel-udelan. Kemudian ditambah tujuh telur, bucu pitu, dalam posisi yang ditengah besar dan dikelilingi oleh enam buah bucu lainnya kecil-kecil. Dua tampah punar, polo pendem (ubi gembili, sawek tales, ganyong, telo dan sebagainya). Selain itu juga terdapat dua wadah terbuat dari bungkusan daun pisang yang terdiri dari kembang tujuh rupa, yaitu kembang melati, gading, kenanga, empon-empon, mawar dan matahari. Bunga-bunga ini disebut sebagai kembang setaman. Ditambah lagi dengan bubur putih merah dan dua kelapa muda (cengkir).
Bagi orang kaya, upacara tingkepan juga menjadi persoalan yang kompleks. Kerumitan upacara ini menandakan yang melakukan adalah kaum elite, berstatus sosial tinggi. Upacara dimulai pada pukul 4 sore, tentu saja setealah semua peralatan upacara selesai. Upacara dimulai dengan memohon doa restu atau sungkeman. Bapak dan ibu dari kedua belah pihak duduk di kursi ruang tamu dan kedua pelaku upacara berada dalam posisi membungkuk mengahadap pasangan orang tua. Tanpa sepatah kata pun dari pelaku upacara atau pelaku cukup mendekatkan muka ke lutut orang tua, dan orang tua mengelus pundak anak dan menantunya, maka acara sungkeman pun selesai. Pelaku upacara menggunakan jarik panjang dan baju khas Jawa untuk acara sungkeman. Acara pun dilanjutkan dengan ganti pakaian baru, yang terdiri dari kain kebaya yang dililitkan sebatas dada bagian atas. Kemudian dimandikan dengan kembang tujuh rupa . Mulanya yang memandikan kedua orang tua, selanjutnya mertua dan terakhir suami. Ganti kain panjang pun dilakukan sebanyak tujuh kali dan dimandikan sebanyak tujuh kali pula. Acara dilanjutkan dengan memasukan kelapa muda (cengkir) atau kendi atau telur kedalam pakaian oleh suaminya kemudian dijatuhkan (dibanting). Jika cengkir atau telur pecah menandakan bayi yang akan dilahirkan nanti adalah perempuan dan jika cengkir atau telur tadi tidak pecah maka bayi yang dilahirkan itu laki-laki. Tidak cukup sampai disitu, setelah ganti pakaian kering, acara dilanjutkan dengan dodolan dawet duwet kereweng . Kemudian malam harinya baru dilakukan upacara tingkepan dengan membaca Surat Maryam atau Yusuf dan Luqman kemudian dilanjutkan dengan dibaan. Acara pun ditutup dengan doa. Dikalangan orang kaya, yang tidak menggunakan prosesi upacara rumit seperti itu biasanya cukup mengadakan pengajian besar-besaran yang disebut sebgai pengajian walimatul hamli atau perayaan kehamilan.
Dalam pengamatan penulis, tradisi tingkepan atau yang disebut walimatul hamli yang dilakukan di daerah penulis yaitu Sidoarjo bentuk acaranya hampir sama dan sedikit mengalami perbedaan. Acara tingkepan dihadiri oleh para tetangga baik laki-laki maupun perempuan dalam acara tersebut telah disediakan nasi tumpeng, dua buah kelapa muda (cengkir), takir, beras, telor, sumbu kompor, pisang, kupat dan polo pendem. Kegiatan diawali dengan pembacaan al Quran surat Luqman atau surat Yusuf atau surat Maryam dan dilanjutkan dengan pembacaan sholawat Nabi SAW (dibaan) kemudian ceramah agama dan ditutup dengan do’a. sedangkan pemecahan kendi atau telor juga penyiraman terhadap ibu yang sedang hamil beserta suami sudah hampir tidak ada.

C. Pandangan Fiqih terhadap tradisi tingkepan
Istilah tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. Oleh karena itu tradisi tidak menjadikan jenuh untuk dikaji dan diteliti oleh berbagai pihak. Namun adanya tradisi tentu tidak lepas dari ajaran-ajaran atau faham-faham kebudayaan dan keagamaan yang berkembang pada waktu itu. Proses dan pergulatan di dalamnya pastilah ada. Tradisi tidak selamanya stagnan dan flugtuatif. Tradisi bisa saja terus berkembang dan sangat mungkin mengalami pergeseran makna dan bentuk ritual kebiasaannya, besar dan kecilnya bentuk pergeseran itu, karena tradisi diwarisi oleh generasi yang terus berkembang dalam kontek kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain bahwa, tradisi tidak hanya diwariskan tetapi ia juga dikonstruksi atau invented yang juga ditunjukan untuk menamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan masa lalu. Dan tentunya tak salah kemudian proses kesinambungan itu terwujud dalam sebuah Akulturasi, asimilasi bahkan sampai pada Islamisasi kebudayaan yang ada dalam masyarakat tertentu.
Artinya, munculnya istilah Islamisasi merupakan sebuah bukti adanya pergolakan di ranah interaksi dan proses sosialisasi kebudayaan ataupun penyampaian dalam kontek kepercayaan serta keyakinan tertentu pada masyarakat itu sendiri. Bagaimana masyarakat berpikir, bersinggungan langsung dan kemudian menerima kebudayaan serta kepercayaan itu dengan sadar dan apa adanya. Karena memang Islam hadir merupakan sebuah upaya untuk melakukan penyebaran di seluruh jagad raya ini. Tak jarang masyarakat menolak dan tidak menghiraukannnya. Namun karena Islam dengan konteks ajaran keagamaan yang membumi dan berbaur dengan keadaan kebudayaan sekitar maka ia dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat sekitar. Dan sampai sekarang pun ia senantiasa berbaur, berinteraksi langsung dengan masyarakat sehingga ia tetap eksis dilingkungan sekitarnya.
Tingkepan dengan bentuk kegiatan sebagaimana penulis kemukakan di muka maka bisa dipastikan bahwa tingkepaan itu adalah tradisi local yang bersumber dari ajaran hindu yang mengalami perkembangan dan perubahan sehingga di tiap-tiap daerah terkadang bentuk kegiatannya beragam dan sebagian telah mengalami percampuran dengan ajaran Islam.
Berbagai ragam bentuk kegiatan tingkepan itu tentunya membawa implikasi hukum yang berbeda dan harus disikapi dengan arif dan bijaksana sehingga tidak bisa digeneralisir dengan hukum yang sama. Oleh karena itu penulis akan mentafsil hukum tingkepan sebagai berikut :
1. Pandangan fikih terhadap tradisi
Kata tradisi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah adat kebiasaan yang turun temurunn yang masih dijalankan dalam masyarakat . Sedangkan menurut Sa’dy Abu jaib dalam kamus Fikihnya adat atau tradisi adalah setiap apa saja yang dibiasakan oleh manusia sehingga mudah bagi mereka untuk melakukannya tanpa mengalami kesulitan
Islam menempatkan adat atau tradisi pada tempat yang semestinya yaitu dengan memberikan apresiasi yang tinggi sehingga muncul beberapa qoidah fiqh antara lain :
العادة محكمة
الأصل في العادات الإباحة إلا ما نهى عنه الشرع
“ yang ashal di dalam adat itu adalah boleh kecuali apa yang diharamkan oleh syara” .
Juga dalam hadits Nabi SAW
فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيئ
“maka apa saja yang dilihat oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang baik maka hal itu di sisi Allah juga baik, maka apa saja yang dilihat oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang baik maka hal itu di sisi Allah juga baik” (HR Immam Ahmad Bin Hambal)
Penghargaan islam pada adat atau tradisi itu bukan berarti tanpa syarat karena dalam islam, orang tidak bisa serta merta membuat peraturan ibadah tersendiri atau memasukkan kebiasaan mereka menjadi ibadah oleh karena itu ada qoidah fiqih yang sangat terkenal
الأصل في العبادات المنع
“Yang ashal didalam ibadah adalah terlarang”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah berkata, “ Adapun adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan manusia dalam urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan hukum asal pada masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak boleh ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. Karena sesungguhnya memerintah dan melarang adalah hak prerogratif Allah. Maka ibadah harus berdasarkan perintah. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak diperintahkan di hukumi sebagai hal yang dilarang? Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh ahli hadits lainnya mengatakan, bahwa hukum asal dalam ibadah adalah tauqifi (berdasarkan dalil). Maka, ibadah tidak disyariatkan kecuali dengan ketentuan Allah, sedang jika tidak ada ketentuan dari-Nya maka pelakunya termasuk orang dalam firman Allah.
أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله
“Artinya : Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?” (Asy-Syuraa : 21)
Sedangkan hukum asal dalam masalah adat adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak boleh dilarang kecuali yang diharamkan Allah.
Yusuf Al-Qardhawi dalam Al-Halal wal Haram fil Islam berkata, “Adapun adat dan muamalah, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mengandung mafsadat dan mudharat”.
Dengan mengetahui kaidah ini , maka akan tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid’ah dengan penemuan - penemuan baru pada masa sekarang. Di mana masing-masing mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara mandiri.

2. Hukum tradisi tingkepan
Acara tingkepan adalah sebuah tradisi apabila hanya melestarikan belaka dengan tidak menyakini bahwa hal itu termasuk sesuatu yag disyariatkan dan dalam pelaksanaan acara tersebut tidak dilakukan sesuatu yang tercela atau bahkan syirik maka hal itu diperbolehkan, sebagaimana qoidah fiqih
الأصل في العادات الإباحة إلا ما نهى عنه الشرع
Imam Syathibi juga menjelaskan dalam kajian yang panjang dalam Al-I’tisham (II/73-98) yang pada bagian akhirnya disebutkan, “Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi adatnya, maka tidak ada bid’ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan sebagai ibadah atau diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi bid’ah”. Dengan demikian maka “tidak setiap yang belum ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga belum ada pada masa Khulafa Rasyidin dinamakan bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi kekuatan mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang baru dibuat oleh manusia dalam bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah ibadah dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at maka bukan bid’ah sama sekali”
Dalam pelaksanaan acara tingkepan ada beberapa adat yang mana penulis menilai hal itu tindakan tercela yang harus dihindari seperti pemecahan telur atau kendi karena hal itu adalah perbuatan sia-sia yang termasuk tabdzir sebagaimana firman Allah dalam surat al Isro : 26-27
وَآَتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)

Ibnu katsir dalam menafsiri ayat tersebut mengatakan bahwa mujahid berkata seandainya manusia menginfakkan seluruh hartanya dalam hak maka tidaklah termasuk tabdzir, tapi seandainya ia menginfakkan hartanya walaupun satu mud dalam hal yang bukan hak maka termasuk tabdzir. Dan Qotadah berkata tabdzir adalah menggunakan harta dalam kemaksiatan kepada Allah dan dalam hal yang bukan hak dan dalam kerusakan . Begitu juga imam thobari dalam tafsirnya beliau menuqil pendapat Abdulloh ibnu masud bahwa yang dimaksud tabdzir adalah
إنفاق المال في غير حقه.
Adapaun pelaksanaan tingkepan dengan hanya mengeluarkkan sedekah kepada para undangan yang didalamnya dibacakan sholawat nabi SAW dan ayat- ayat al Qur’an dengan maksud untuk memohon kepada Allah agar ibu yang mengandung dan anak yang masih dalam kandungan Ibu maka hal itu tidaklah tercela sama sekali karena banyak ayat al Qur’an maupun hadits baik yang tersurat maupun yang tersirat memerintahkan untuk berdoa kepada Allah SWT. Seperti firman Allah
                      •      •   
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami termasuk orang-orang yang bersyukur".( QS. Al A’rof: 189)
Di dalam surat al Baqoroh Allah berfirman :
                   
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. al baqarah :186)

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُم
“Dan tuhanmu berkata dan berdoalah kepadaku niscaya akan aku kabulkan bagimu” (QS. Ghofir :60)
Sebagian ulama menjadikan hadits riwayat Imam Muslim berikut sebagai penetapan pelaksanaan waktu tingkepan, bahwa manusia dalam kandungan Ibu ketika usia kandungan 4 bulan maka ditiuplah roh dan ditulis taqdirnya, dimasa itulah diadakan do’a bersama dengan tujuan agar jabang bayi yang dikandung Ibu ditaqdir oleh Allah dengaan taqdir yang baik.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ ح وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِىُّ - وَاللَّفْظُ لَهُ - حَدَّثَنَا أَبِى وَأَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ قَالُوا حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ « إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَوَالَّذِى لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا

Dan menurut pandangan penulis shadaqah dan doa adalah suatu bentuk ibadah yang aturannya sangat fleksibel, manusia bisa memilih kapan saja ia harus berdoa’ dan shadaqah dan tentunya dipilih di saat yang mereka perlukan dan hal itu bukan termasuk bid’ah, Zakariya al anshori dalam bukunya asna al matholib menjelaskan tentang sangat dianjurkannya mengeluarkan shodaqoh di saat-saat yang sangat genting karena harapan dikabulkan hajatnya sangat diharapkan ,saat kehamilan adalah bias dikatakan berada dalam situasi yang khusus bahkan Alloh SWT memberi kelonggaran bagi seorang ibu yang sedang hamil untuk tidak berpuasa maka shodaqoh yang dikeluarkan seseorang diwaktu hamil tentunya sangat dianjurkan agar doa dan harapannya dikabulkan oleh Allah.
Tetapi apabila pelakasanaan tingkepan itu di tetapkan harus pada bulan tertentu dan diyakini bahwa penentuan tersebut merupakan suatu keharusan dan bagian dari syariat islam apalagi dengan diisi acara yang dilarang oleh Islam maka hal itu adalah bid’ah yang harus dijauhi.
Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom mengatakan bahwa bid’ah adalah

عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ

Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi). Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, beliau mendefinisikan bahwa bid’ah adalah
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah).
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.”
Nabi SAW bersabda
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنِى خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ قَالَ حَدَّثَنِى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو السُّلَمِىُّ وَحُجْرُ بْنُ حُجْرٍ قَالاَ أَتَيْنَا الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ وَهُوَ مِمَّنْ نَزَلَ فِيهِ (وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ) فَسَلَّمْنَا وَقُلْنَا أَتَيْنَاكَ زَائِرِينَ وَعَائِدِينَ وَمُقْتَبِسِينَ. فَقَالَ الْعِرْبَاضُ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ « أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)


والله اعلم بالصواب










BAB III
KESIMPULAN



Dari pembahasan di atas dapat penulis simpulkan
Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni atau upacara kehamilan tujuh bulan dalam upacara ini telah banyak mengalami perubahan dan perbedaan di setiap daerah khususnya di Jawa.
Adat atau tradisi adalah setiap apa saja yang dibiasakan oleh manusia sehingga mudah bagi mereka untuk melakukannya tanpa mengalami kesulitan. Islam sangat menghargai tradisi sehingga ulama’ ushul Fiqh banyak melahirkan qaidah yang berkaitan dengan tradisi misanya “ pada dasarnya adat atau tradisi itu diperbolehkan sepanjang tidak dilarang oleh syara’
Tradisi tingkepan dalam pandangan fikih mempunyai implikasi hukum yang beragam dengan melihat konteksya. Pada dasarnya tradisi tingkepan itu mubah selama tidak melakukan praktek yang dilarang oleh agama dan tidak menyakini bahwa tradisi tingkepan itu bagian dari syariat Islam.
















DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats,Sunan Abu Dawud. Beirut: Dar al Kutub al ‘araby,tt
Abu Jaib, Sa’dy, Qomus Fiqh. Damasyqus: Dar al Fikr,1993
Ahmad bin Hambal, Musnad al Imam Ahmad bin hambal. Kairo: Muassasah qurtubah,tt
al Anshory,Zakariyah, asna> al matho>lib fi syarhi roudloth al tho>lib,juz 1 ( Beirut: dar al kitab al ilmiyah,2000
al hajja>j, Abu al Husain muslim, Shohi>h Muslim,juz 8. Beirut : dar alji>l,tt
Al ihsan, Muhammad amin, qowa>id fiqh . Karachi : Shodaf bablasrz, 1986
al Thobari, Abu Ja’far, ja>miul baya>n fi ta’wi>l al Qur’an,juz 17( tt, Muassasah alrisalah,2000
Al-Shatiby, Abu ishak Ibrahim bin Musa, al muwafaqot. Aqrabiyah: Dar Ibnu affan, 1999
Al-Shatiby, Abu ishak Ibrahim bin Musa,al I’tishom,Juz II. Syamilah
Http.//hijrah dari syirik & bid’ah, blogspot.com.
Ibn katsir, Abul fida Ismail bin Umar, tafsir al Qur’an al alkarim, juz 5( tt, Dar althayyibah,1999
Ibn Taimiyah , Taqiyuddin Abu al Abbas Ahmad bin Abdul halim, Majmu’ al Fatawa,juz 18 , tt: Dar al wafa’,2005
Ibnu Taimiyah, Al qowa>id al nu>ro>niyah al fiqhiyah. Beirut: dar al ma’rifah,1399 H
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,1988
M. Sholihin, Ritual dan tradisi islam Jawa,Yogyakarta: Narasi,2010
Mulhis qowaid al fiqhiyah, Syamilah
Munjid, Syaikh Muhammad Sholih, Fata>wa>, Syamilah
Nur Syam, Islam Pesisir . Yogyakarta : LKiS,2005
Qordlowi, Yusuf, Halal dan haram dalam islam, terj. Muammal Hamidy. Surabaya : Pt. Bina Ilmu, 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar